Imam Ja’far Guru Para Imam Madzhab

KolomImam Ja’far Guru Para Imam Madzhab

Bagi sebagian kalangan, nama Imam Ja’far cukup asing didengar. Padahal, Imam Ja’far merupakan sosok guru dari Imam besar madzhab Sunni, yakni Abu Hanifah dan Imam Malik. Keluasan ilmu dan kebijaksanaannya dalam mengambil sikap, menjadi teladan bagi masyarakat dan para ulama besar lain pada masanya serta pengikutnya hingga kini.

Imam Ja’far bernama lengkap Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Sayyidah Fatimah Az-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW. Imam Ja’far yang berguru langsung dari ayahnya, Muhammad al-Baqir seorang tokoh yang melahirkan banyak ulama besar Islam. Tak ayal, jika ia menguasai banyak bidang keilmuan, seperti filsafat, tasawuf, fiqih, kimia, dan ilmu kedokteran.

Tingginya dedikasinya terhadap agama dan keilmuan patut mendapat penghargaan, tetapi kekuasaan telah menenggelamkannya dalam kesunyian. Imam Ja’far yang menjadi bagian dari tokoh penting dalam dunia Syiah, kerap termarginalkan dalam sejarah. Kendati diklaim kelompok Syiah, ia tak ragu mengutuk keras terhadap penggunaan namanya dan keluarga Rasulullah sebagai sentimen politik di Irak oleh Khatib Muhammad Ibn Abi Zainab al-Ajda yang mempolitisasi, bahwa Ali adalah Rasulullah.

Perbedaannya jika Muhammad Rasul yang berbicara, maka Ali adalah Rasul yang diam. Begitu juga menyebut, keturunan Rasulullah itu putra-putra Allah. Klaim seperti ini menurut Imam Ja’far sangat membahayakan akidah dan dianggap musyrik.

Itu artinya, generalisasi label buruk terhadap kelompok Syiah tidak dapat dibenarkan. Karena pada intinya, tiap-tiap aliran memiliki sikap radikal dan moderatnya masing-masing tergantung individual dalam memahami agamanya. Dalam hal ini, Imam Ja’far menjadi contoh seseorang yang bersikap tegas mengatakan tidak pada perkara yang berlebihan atau ekstrem. Imam Ja’far memuliakan Ali bin Abi Thalib, tetapi bukan berarti harus menyetarakannya sebagai Rasul.

Baca Juga  Otonomi Perempuan ala Asiyah, Istri Fir’aun

Dalam buku Fiqih Lima Madzhab: Ja’fari, Hanafi, Syafi’i, Hambali (2011) Para Ahlussunnah berpendapat bahwa Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang mujtahid dalam ilmu fiqih dan dianggap sudah mencapai ke tingkat ladunni. Di kalangan para syaikh Ahlussunnah yang terkemuka, ia dianggap sebagai seorang sufi, karena pada dirinya terdapat puncak pengetahuan dan darah suci Nabi SAW.

Adapun pengambilan sumber-sumber hukum Madzhab Ja’fari, yakni melalui al-Quran, sunnah, ijma’, dan akal. Saking alimnya Imam Ja’far, di masanya tidak ada perbedaan pendapat yang kontras. Ilmu yang dimilikinya cukup memenuhi kebutuhan gairah keagamaan dan kehidupan sosial masyarakatnya.

Konon, khilafiyah baru terjadi setelah masa kewafatannya. Berikutnya muncul Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Walaupun khilafiyah, sanad keilmuan dan ukhuwah antar guru tersebut tetap dalam keadaan yang sangat baik. Para pendiri madzhab, tidak pernah melupakan jasa keilmuan yang diajarkan gurunya. Sampai ketika muridnya mendirikan madzhab, sikap saling menghargai dan mengapresiasi kehebatan dilontarkannya satu sama lain.

Meski pengikutnya tak sebanyak empat imam madzhab Sunni, Madzhab Ja’fari masih bertahan hingga kini, karena di sana terdapat fondasi kokoh terbangunnya empat fenomemal ini. Di antaranya memiliki sanad keilmuan yang saling terhubung. Madzhab Ja’fari yang diikuti kalangan Syiah, hal itu tidak berbeda jauh dengan pola ijtihad empat imam madzhab. Maka dari itu, kiranya perkara khilafiyah tidak perlu dipertentangkan secara berlebihan, karena berkat kemuliaan ilmu Imam Ja’far pula kita bisa menikmati khazanah keilmuan melalui murid-muridnya.

Artikel Populer
Artikel Terkait