Tantangan Harlah 95 NU Fokus Sains

KolomTantangan Harlah 95 NU Fokus Sains

Menyambut Harlah yang ke-95, NU dihadapkan dengan tantangan perkembangan sains yang begitu cepat. Sebagai ormas Muslim terbesar di Tanah Air, bangsa ini barang tentu akan lebih maju jika perhatiannya terhadap sains dapat difokuskan secara khusus, berikut sebagai penyangga keutuhan NKRI. Maka dari itu, menjadi keniscayaan NU dapat memberdayakan ormasnya untuk mengakomodir sains sebagai target pencapaian agar mampu bersaing di kancah global.

Tepatnya pada 31 Januari hari lahir NU diperingati setiap tahunnya. Harapan baru NU dalam membangun perubahan bagi negeri menjadi sentral. Pasalnya, masyarakat dunia tengah berlomba-lomba mengembangkan sains dengan penemuan-penemuan baru untuk menguasai dunia melalui teknologi, teori, dan sebagainya. Hal tersebut menjadi senjata ekonomi dan kemajuan peradaban untuk mensejahterakan seluruh rakyat.

Perhatian NU kepada keilmuan memang tak kurang, tetapi kerangka pemikiran yang cenderung ortodoks dan skeptis, hingga terkesan kurang memberi porsi pada pembaharuan ilmu. Suatu keyakinan yang tak terbantahkan, seperti agama yang sifatnya transenden dan mutlak kebenarannya. Karena itu, ia tidak bisa dituntut atau dimintai pertanggungjawaban. Demikian kaum Nahdliyin yang restriktif pada doktrin keaswajaannya, penjelasan nalar rasional tidak lagi diperlukan.

Memang barangkali benar apa yang dikatakan Fukuyama dalam buku yang dikutip Kiai Masdar: Membumikan Agama Keadilan (2020), bahwa masyarakat Barat memulai sesuatu atas keraguan kemudian logika. Jika dianggap perlu dan manfaat, maka baru keyakinan. Sedangkan masyarakat Timur sebaliknya, mereka memulai dari keyakinan, kemudian logika. Jika keadaan terpaksa, maka baru kontrak diperhatikan.

Budaya referensi klasik tentang teologi yang minim referensi kontemporer, berimplikasi pada pembahasannya selalu melangit dan kurang membumi, hingga dinilai kurang relevan dengan persoalan di zaman kini. Sains yang merupakan produk hasil nalar rasional manusia yang sadar manfaat ciptaan Tuhan, sukar bagi kaum Nahdliyin untuk mengimbangi daya kritisnya yang statis pada referensi klasik, doktrin khas Aswaja.

Memang barangkali benar apa yang dikatakan Fukuyama dalam buku yang dikutip Kiai Masdar: Membumikan Agama Keadilan (2020), bahwa masyarakat Barat memulai sesuatu atas keraguan kemudian logika. Jika dianggap perlu dan manfaat, maka baru keyakinan. Sedangkan masyarakat Timur sebaliknya, mereka memulai dari keyakinan, kemudian logika. Jika keadaan terpaksa, maka baru kontrak diperhatikan. Adapun yang dimaksud keyakinan ialah kaidah-kaidah kebenaran yang tidak bisa dipersoalkan keberadaannya, sementara logika menjadi penjelasan rasional terhadap teks-teks yang dikultuskan.

Jika kesadaran kritis pada sains ini tidak segera terbangun, maka eksistensi NU akan terancam dan ketinggalan zaman. Kendati NU menjaga tradisi tetap harus beradaptasi dengan sains. Sebab tradisi yang bersifat konstan mesti ditimpali dengan sains yang bersifat progresif menjadi keberlangsungan hidup yang ideal. Demikian mengapa dari sekian negara-negara maju di dunia diidentikkan dengan perkembangan sainsnya. Misalnya, Amerika Serikat, China, Korea Selatan, Inggris, Jerman dan negara lainnya sangat peduli akan sains.

Selain sebagai kodrat manusia yang terus berinovasi atau menemukan hal-hal baru agar memberi kemaslahatan dan membangun peradaban, temuan sains kini menjadi bisnis akomodasi yang mampu membangkitkan perekonomian. Kesadaran pada ilmu pengetahuan akan menjadi tinggi lantaran persaingan intelektual yang ketat.

Baca Juga  Istri Solehah Harus Menutupi KDRT? Mitos!

Pada abad ke-19, pembaharuan-pembaharuan di Mesir oleh Muhammad Ali Pasha menjadi tonggak modernisasi pembaharuan pemikiran Islam. Kala itu, ketidaksadaran orang-orang Arab atas kemajuan yang dialami orang-orang Barat menyebabkan umat Islam hanya berada di poros yang sama. Umat Islam yang tak pernah usia disibukkan dengan perdebatan pahala, dosa, surga, neraka, atau transenden, ditinggalkan oleh orang Barat yang tengah menciptakan teori, teknologi, dan pembaharuan lainnya, yang sejatinya lebih bermaslahat bagi manusia. Kemapanan ilmu yang diwariskan para generasi terdahulu, yang berdampak pada keengganan mereka menilik kemajuan Barat.

Muhammad Ali Pasha berinisiatif mendatangkan para ahli, baik Barat dan Timur untuk mendidik rakyat yang dipimpinnya, hingga menciptakan modernisasi sistem kepemimpinan, bidang militer, bidang pendidikan, dan kesuburan ekonomi. Itu sebabnya, keberanian Ali Pasha mampu menyingkap dan mencerahkan para pemikir Islam yang kemudian tumbuh dengan pengetahuan luas sekaligus modern, dari belenggu indoktrinasi yang anti-Barat atau mendokrak kemapanan.

Beranjak dari sini, NU dapat meneladani pembaharuan besar yang telah dikembangkan oleh modernis mesir tersebut. Adapun tokoh Muslim lainnya yang bergulat di sains, yakni seperti Ibnu Sina, al-Khawarizmi, al-Kindi, al-Battani, dan sebagainya. Sayangnya, tokoh-tokoh Muslim berpengaruh di dunia seperti mereka ini sudah jarang ditemukan.

Jika selama ini masyarakat Muslim khawatir terhadap sains yang diciptakan orang-orang Barat, karena dampak yang keluar dari etika manusiawi atau nilai-nilai keagamaan. Mestinya hal ini wajar, karena yang menciptakan temuan baru tersebut bukan dari kalangan yang memahami nilai-nilai agama. Masyarakat Muslim yang menolak vaksinasi, karena kekhawatirannya terhadap unsur yang mengandung keharaman, NU sebagai salah satu organisasi dominan di Tanah Air dan dikenali dunia Islam merasa sangat tersentil. Lantas berpikir, kemana umat Islam di dunia ini mengapa mereka para ilmuwan Muslim tidak bisa menciptakan vaksinasi yang diusahakan tidak mengandung unsur-unsur hewan yang dinilai haram. Meski dalam fikih maslahat, keharaman itu menjadi gugur karena situasi darurat.

Selama ini yang terjadi pada situasi tersebut, masyarakat Muslim hanya mengafirmasi dengan kaidah, hingga keharaman itu menjadi halal. Problem di Indonesia sendiri, keributan vaksinasi Covid-19 haram ini baru mulai reda di kalangan Muslim ketika sudah adanya cap atau label halal yang dinyatakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ironis, mengapa pemikiran kita hanya sampai pada afirmasi-afirmasi kaidah, seharusnya masyarakat atau pengurus NU terjun payung membuat vaksin yang dipastikan manfaat dan keamanannya. Demikian sains menjadi rumit dan dipertentangkan, karena umat Islam tidak berkecimpung di dalamnya.

Dengan demikian, tantangan umat Islam juga tantangan bagi NU yang sejak awal berdedikasi pada agama dan negara. Syahdan, kontribusi pergerakan NU dalam dunia sains yang bernuansa nilai-nilai agama sangat ditunggu. Dengan tantangan ini, NU akan menjadi lebih unggul, kian progresif dan eksistensinya menjadi manfaat, karena membangun peradaban sains yang ramah etika atau ramah nilai-nilai agama. Terakhir, adanya sains yang diciptakan NU tentu dapat menjadi hadian hari lahir NU untuk seluruh bangsa Indonesia atas abdi baktinya pada negara.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.