Khilafah; Jebakan Romantisme silam

KolomKhilafah; Jebakan Romantisme silam

Kenangan romantis memang selalu memiliki porsi sendiri dalam ruang hati dan pikiran. Segala keindahan memori tersebut, membentuk kembali imajinasi dan emosi untuk sekali lagi mencecap euforianya. Romantisme kerap kali mengutamakan sentimen idealisme, yang menganggap angannya sebagai satu-satunya kebenaran yang bisa dipahami.

Adalah hal yang menggelikan ketika mendengar khilafah ingin ditegakkan kembali di tengah realitas masyarakat global, plural, dan kompleks ini. Di mana perbedaan sistem dan bentuk negara-negara terlampau besar. Angan-angan akan kejayaan Islam masa lalu dan kegagalan memahami realitas, menjadikan para pejuang khilafah hari ini terperangkap pada perjuangan simbol keagamaan belaka. Sebenarnya, mereka sedang terjebak romantisme silam yang utopis.

Kehidupan di masa kepemimpinan Rasulullah SAW memang mengisahkan kedamaian dan kesejahteraan hidup, serta religiusitas tingkat tinggi. Demikian pula masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, meskipun tidak sama dengan era Rasulullah SAW, namun hidup mereka dekat dengan Rasulullah SAW. Islam saat itu mengalami banyak perkembangan dari aspek tatanan pemerintahan dan perluasan wilayah.

Babak selanjutnya, pemerintahan Islam dikuasai oleh berbagai dinasti, mulai dari khilafah Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyyah, dan Utsmaniyah. Pemerintahan ini mengusung konsep monarki (kerajaan) yang jauh dari asas musyawarah. Di mana dalam rentang kekhilafahan tadi, Islam mengalami berbagai fase dan pernah mencapai kemajuan peradaban yang luar biasa unggul. Bahkan sempat menjadi kiblat peradaban dunia. Hal tersebut tentu sangat membanggakan.

Khilafah, bagi para pengusungnya, adalah konsep pemerintahan titipan Tuhan yang harus diperjuangkan kembali. Mereka selalu menghembuskan ulang ingatan-ingatan lampau akan kejayaan Islam yang berhasil merebut peradaban dunia saat itu. Memang kegemilangan di masa kekhilafahan itu benar adanya. Namun demikian, bukan berarti sistem tersebut kebal dari masalah dan catatan negatif.

Sejarah membuktikan, transisi antar kekhilafahan hampir selalu penuh dengan darah, perebutan kekuasaan, bahkan perang saudara. Dalam proses munculnya suatu kekhilafahan, di saat yang sama ada kekhilafahan lain yang runtuh. Maka, alangkah naifnya jika serta-merta menjustifikasi bahwa khilafah adalah konsep pemerintahan yang keramat dan ideal yang merupakan titah Tuhan, kemudian menutup mata dari tragedi yang menyertai.

Baca Juga  KH Achmad Siddiq: Menjernihkan Hubungan Pancasila dengan Islam

Tidak ada satu pun jaminan akan kesejahteraan hidup dan kegemilangan peradaban jika khilafah kembali muncul. Semua janji manis khilafah adalah spekulasi belaka. Jika mereka berdalih bahwa khilafah adalah kewajiban agama, maka, baik al-Quran maupun hadis tidak pernah menyariatkan adanya satu pemerintahan tertentu.

Meminjam ungkapan Munawir Syadzali, bahwa Islam tidak punya sistem politik, dan hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan negara. Dari sini jelas bahwa sistem pemerintahan tidak terbatas pada khilafah saja. Selama pemerintahan tersebut satu nafas dengan nilai Islam, maka apapun bentuknya tidaklah apa.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana ISIS yang menggadang-gadang tegaknya negara Islam dalam bingkai khilafah, justru akrab dengan teror dan kekerasan, sehingga menyebabkan krisis kemanusiaan di mana-mana. Yang mereka perjuangkan bukanlah agama, namun semata-mata hanya keinginan untuk berkuasa.

Realitas masyarakat saat ini semakin menegaskan bahwa cita-cita tegaknya khilafah adalah utopia yang mengada-ada. Pada tataran konsep saja, khilafah sudah sangat debatable dan multitafsir. Apalagi jika diterjemahkan pada langkah konkret dan aturan yang lebih rinci, maka kontroversi perdebatan akan semakin melebar.

Tidak sepakat dengan khilafah tak lantas menjadikan seseorang tidak beriman. Mari berpikir dan bertindak lebih realistis karena kehidupan kita bukan dalam dimensi angan-angan. Khilafah akan sangat sulit diterapkan dalam konteks multikulturalisme saat ini. Konsep tersebut sangat tidak ramah terhadap realitas kekinian. Jika dipaksakan, kehidupan hanya akan berisi konflik dan kekacauan.

Para pejuang khilafah ala HTI saat ini, sejatinya adalah orang-orang yang sedang dimabuk kenangan masa lalu. Romantisme silam tersebut mengelabui mereka, sehingga orang-orang ini tidak sadar sedang terjebak dalam imajinasi rekaan mereka sendiri. Jika yang dikehendaki adalah kejayaan Islam, alangkah lebih baik memperjuangkannya melalui pengembangan ilmu pengetahuan, bukan malah sok-sokan ingin mendirikan negara Islam. Wallahu ‘alam.

Oleh: Khalilatul Azizah

Artikel Populer
Artikel Terkait