Menghargai Banyak Agama

KolomMenghargai Banyak Agama

Dampak globalisasi dan revolusi komunikasi telah membawa wacana universalisme pesan agama keluar dari ruang akademis. Wacana itu kini mempengaruhi praktik kecil harian seperti pergaulan, pertemanan, dan relasi kerjasama. Hubungan antar agama semakin dipandang positif dan perlu didukung. Sebagaimana J.B Banawiratma, yang dalam pengantarnya di buku Ketika Umat Beragama Mencipta Tuhan menuliskan, “today, to be religious is to be interreligious”. Dapat kita lihat, kini generasi muda kita saling berinteraksi dan membuktikan banyak orang-orang baik dari berbagai keyakinan yang layak diapresiasi.

Anak muda berhak menjadani proses beragama dengan cara yang kritis, dan terus berkembang. Doktrin agama adalah konstruksi, tafsir, dan rumusan manusiawi yang terbatas namun terus dikembangkan. Pada dasarnya, manusia tidak mungkin mampu memahami keutuhan Tuhan yang sejatinya jauh melebihi kapasitas bahasa maupun akal-pikiran. Walaupun begitu, otoritas agama tetaplah luar biasa dan berjasa dalam melayani kebutuhan umat manusia untuk bertuhan. Di sinilah kemudian berlaku kutipan paling popular dari ayat al-Quran, untukmu agamamu, dan untukku agamaku (QS. Al-Kafirun: 6), yaitu munculnya keberagaman aliran pemikiran, penghayatan, dan pengabdian dalam menyembah Tuhan. Keberagaman tersebut tidak lain merupakan hasil dari upaya manusia, yang menarik untuk didekati secara kritis.

Pada hakikatnya, Tuhan itu tidak terbatas, apalagi oleh satu agama atau madzhab saja. Tuhan yang terbungkus dalam suatu bahasa, didefinisikan sedemikian rupa, menjelma sebagai kendali sosial tertentu, merupakan suatu ideologi agama. Tidak jarang, anak muda meragukan Tuhan yang terbatas seperti itu. Bagaimana mungkin guru SMA kami yang sangat welas asih dan adil, tidak mendapat balasan atas kebaikannya itu, hanya karena tidak seagama dengan kami? bagaimana mungkin Tuhan melaknat kepemimpinan perempuan? Atau mengapa orang yang dianggap tidak menyembah Tuhan akan dicap buruk?

Di era saat ini khususnya, kita sangat terbuka untuk kembali pada prinsip “Tuhan yang Maha Esa”.  Tuhan yang tunggal, tauhid, yang justru mengantarkan hati kita melampaui batas-batas bahasa, formulasi manusia, dan membiarkan Tuhan menjadi Tuhan yang tidak terbatas. Kita semua tentu amat tertarik dengan ide perdamaian dunia, yang merupakan misi dari setiap agama.

Baca Juga  Meneladani Semangat Dakwah Ramah Syekh Ibrahim Samarkandi

Dengan menuhankan Tuhan sebagai Tuhan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam, tidak perlu ada lagi prasangka dan permusuhan antar umat yang berbeda agama. Orang-orang tidak perlu lagi menarik urat untuk menegaskan satu agama lebih tinggi dari agama lain. Penegasan semacam itu tidak penting, kuno, dan tidak jelas faedahnya. Sebab, keindahan umat beragama dinilai dari amal dan dedikasinya kepada sessama manusia. Bagaimanapun, implementasi dari kehendak dan nama tuhan yang paling mencolok terlihat pada kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia.

Maka dari itu, sebenarnya kita tidak perlu ambil pusing pada hal-hal yang tidak terjangkau. Kita cukup berfokus pada hal-hal yang berada dalam kendali kita, yaitu ikhtiar untuk memperindah kehidupan. Singkatnya, Tuhan kita adalah tuhan seluruh alam, bukan satu agama saja. Allah SWT berfirman di dalam al-Quran, Tuhan kami dan Tuhan kamu satu, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (QS. Al-Ankabut: 46). Bukankan ini yang dipancarkan oleh sila pertama Pancasila, sehingga berbagai agama dapat harmonis di negeri ini? Prinsip inilah yang memungkinkan kita untuk menerima perbedaaan dan keanekaragaman agama-agama yang ada sebagai sunnatullah, lazim dan alami.

Keragaman dan keberagamaan adalah modal sosial yang besar dalam penguatan moderasi beragama. Kita harus mengelola potensi ini sebaik-baiknya. Hubungan antar agama yang baik akan memberikan kita ikatan harmonis, yang akan membawa kita untuk lebih menghargai keimanan, baik itu iman sendiri maupun imannya orang lain. Kita sedang menyambut terbitnya era beragama yang memancarkan energi keratif, yang sebenarnya memiliki preseden yang kuat dari Islam sendiri.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.