Pewahyuan al-Qur’an menurut Muslim Neoplatonis

KolomPewahyuan al-Qur’an menurut Muslim Neoplatonis

Ini bagian terakhir dari tiga tulisan tentang proses pewahyuan al-Qur’an. Tulisan pertama dimaksudkan untuk mendemonstrasikan bahwa beberapa ulama terdahulu dan juga data-data dari al-Qur’an sendiri mendukung argumen “al-Qur’an sepenuhnya kalam Allah dan sepenuhnya perkataan Nabi Muhammad,” sebagaimana digagas Fazlur Rahman. Tulisan itu menganalisis pemikiran sejumlah mutakallimun di kalangan Muslim Sunni.

Tulisan kedua menyosot perantara wahyu dan mengelaborasi pandangan Muslim Syi’ah. Dalam tulisan itu, peran Ruh Kudus sebagai perantara wahyu berlanjut dari masa Nabi ke masa para imam Syi’ah. Secara khusus, saya mendiskusikan pendapat imam-imam Syi’ah yang direkam dalam dua karya besar, yakni Basha’ir al-darajat karya Shaffar al-Qummi dan Bihar al-anwar karya Majlisi.

Tulisan ketiga ini akan fokus pada pemikiran Muslim abad pertengahan yang terpengaruh oleh filsafat Neoplatonisme. Walaupun ini tulisan penutup, yang seharusnya menjadi “gong”, saya hanya akan mendiskusikan dua pemikir Muslim Neoplatonis secara serba singkat. Karena ini tulisan pendek, maka cukup saya statuskan saja, tidak perlu diterbitkan di portal.

Di kalangan Muslim Neoplatonis, kita mendapatkan kesan cukup kuat bahwa wahyu yang disampaikan kepada Nabi memang bersifat non-verbal. Ini mudah dipahami, karena — bagi mereka – Tuhan bersifat Intelek-Spiritual, sementara huruf, suara, atau segala ekspresi merupakan bentuk fisik.

Salah seorang Muslim Neoplatonis yang mengembangkan gagasan di atas ialah Abu Hatim Ahmad ibn Hamdan al-Razi (w. 322/943), dengan dua karya pentingnya: “Kitab al-ishlah” dan “A’lam al-nubuwwah.” Pandangan-pandangan neoplatonisnya dapat dibaca dalam buku pertama. Misalnya dia berbicara tentang kalam Allah sebagai “al-mabda’ al-awwal” dan intelek pertama yang darinya muncul intelek kedua dan seterusnya.

Yang relevan dengan tema diskusi kita ialah soal bagaimana Nabi menerima dukungan dari atau diperkuat (mu’ayyad) oleh al-mabda’ al-awwal itu. Al-quwwah atau kekuatan Ilahi yang termanifestasi dalam dan melalui al-Qur’an adalah wahyu itu sendiri, yang dia sebut “al-ruh al-quds” atau “al-ruh al-muqaddasah.”

Seperti terlihat dalam  screenshot pertama, yang diambil dari “A’lam al-nubuwwah,” al-Razi menekankan bagaimana Tuhan memilih Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu karena kesucian dan kemurnian jiwa (nafs) dan spiritnya (ruh). Baca empat baris pertama. Pada baris kelima, al-Razi menegaskan bagaimana wahyu membekas dalam jiwa Nabi karena kesucian/kemurniannya.

Baca Juga  Gus Muwafiq: Tidak Boleh Lagi Menyebut Kafir di Indonesia

Pandangannya bahwa wahyu yang disampaikan kepada Nabi bersifat non-verbal tampak jelas pada tiga baris terakhir. “Ketika wahyu membekas dalam diri/jiwanya dan dia menerimanya dengan hatinya serta membayangkannya/menggambarkannya dalam pikirannya, maka ia kemudian menampakkannya dengan kata-katanya.”

Saya pikir kutipan pandangan al-Razi itu cukup eksplisit bahwa al-Qur’an merupakan wahyu yang berasal dari Tuhan, dan diekspresikan dengan kata-kata oleh nabi Muhammad.

Pemikir Muslim Neoplatonis lain yang ingin saya singgung di sini ialah Abu Ya’qub al-Sijistani (w. 361/971). Dia pemikir Neoplatonis cemerlang dengan banyak karyanya yang penting. Yang paling relevan dengan tema kita ialah bukunya yang berjudul “Itsbat al-nubuw-at,” walaupun gagasan-gagasannya juga dapat dibaca dalam Kitab al-iftikhar, kitab al-maqalid, kitab al-yanabi’, kitab kasyf al-mahjub, atau kitab sullam al-najat

Screenshot kedua diambil dari kitab “Itsbat al-nubuw-at” itu. Sebenarnya diperlukan satu tulisan tersendiri untuk membicarakan pikiran-pikirannya secara adil. Tapi, kutipan dalam screenshot itu cukup jelas menggambarkan pandangannya tentang proses pewahyuan al-Qur’an.

Kata-kata kunci untuk memahami gagasan al-Sijistani ialah “wahyu yang tergambar dalam hati Nabi” (al-mushawwar fi qalbihi min wahy Allah) kemudian menjadi “komposisi artikulasi” (al-ta’lif al-manthiqi). Karena itu, kata al-Sijistani, jangan seseorang mengira bahwa komposisi artikulasi yang disampaikan Nabi itu sudah berbentuk komposisi verbal dalam hatinya. Sama sekali tidak!

Jadi, yang ada dalam hati itu bukanlah bentuk-bentuk ekspresi yang sudah tersusun (isykal ta’lifiyah). Untuk mengekspresikan apa yang ada dalam hati diperlukan huruf-huruf sebagai alat. Dengan kata lain yang lebih eksplisit, al-Sijistani berpendapat bahwa diskursus verbal (ta’lif mantiq) merupakan ekspresi lahiriyah dari makna-makna yang tersimpan dalam  kalbu.

Hal itu sejalan dengan filsafat Neoplatonisme yang dianutnya bahwa Intelek pertama tidak mengandung bentuk-bentuk fisik, melainkan bentuk dzat (asykal dzatiyah) atau bentuk intelek (asykal aqliyah). Barangkali dari sekian banyak pemikir Muslim yang karyanya saya pelajari, di tangan pemikir Muslim Neoplatonislah gagasan Fazlur Rahman itu menemukan ekspresinya yang sangat terang.

Dengan tulisan ini, saya akhiri diskusi kenapa saya setuju dengan pandangan Rahman.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.