Himbauan Tak Etis MUI Kabupaten Bekasi

KolomHimbauan Tak Etis MUI Kabupaten Bekasi

Selalu bisa ditebak, pasti ada nada sumbang yang mengusik ritme bulan suci Ramadhan. Rasanya seperti menerka lotre dan menang. Himbauan untuk menutup warung makan di siang hari selama Ramadhan kembali mengemuka. Yang sudah-sudah, narasi semacam itu biasanya dikeluarkan oleh institusi keagamaan seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) daerah atau pemerintah daerah dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah). Ada kelompok masyarakat yang bahkan main hakim sendiri merusuh di warung-warung makan begitu bulan puasa tiba.

Kali ini MUI Kabupaten Bekasi yang sudah sejak dini menyeru agar pemilik usaha kuliner mencakup warung makan, restoran, kafe, dan sejenisnya untuk tak beroperasi di siang hari bulan Ramadhan. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bekasi, Muhhidin Kamal, pada Jumat (25/3/2022).

Seruan demikian dibangun atas nalar keterancaman dan psikologi mayoritas yang subtil. Khawatir kalau-kalau yang puasa akan tergoda hingga membatalkan puasanya akibat makanan terjaja di mana-mana. Membuka warung makan di bulan puasa juga dianggap sebagai sikap tak hormat pada Ramadhan, membuat bulan suci itu ternodai. Sungguh sikap yang berlebihan dan minim pertimbangan. Bahwa keputusan semacam itu diskriminarif serta menghambat akses sosial masyarakat, yang berujung pada keterbelahan publik.

Terjadi pendangkalan nalar keberagamaan. Lucunya, dimotori oleh institusi yang dinilai otoritatif mengeluarkan nasihat dan keputusan keagamaan. Perilaku keberagamaan di ranah publik harus mempertimbangkan selaras tidaknya dengan nalar publik, rasionalitas, serta universalitas. Lebih-lebih Indonesia adalah realitas yang ultraplural. Oleh John Rawls, pemahaman itu diistilahkan sebagai konsep public reason, di mana penghadiran agama di ruang umum sudah semestinya tunduk pada tipologi realitas yang bersangkutan. Menimbang secara penuh dan sadar, apa nilai bersama yang bisa diterima semua pihak.

Dalam hal ini, jangan memboyong puasa yang merupakan ibadah personal menjadi kesadaran komunal secara sembarangan. Artinya, harus ada proses dialektis serta dialogis ketika hendak menempatkan rukun Islam ke-4 tersebut pada ruang publik, apalagi jika kemudian diterjemahkan menjadi produk fatwa atau aturan positif yang mengikat. Jika proses pertimbangan itu diabaikan, dapat dipastikan akan mengundang kegaduhan di kalangan arus bawah dan harus ada pihak-pihak yang terdiskriminasi.

Silahkan ketik di mesin pencarian, peristiwa yang menimpa Ibu Saeni di Ramadhan tahun lalu. Warung nasi ibu tua itu disatroni Satpol PP, dagangannya disita dan diangkut tanpa ampun. Tangis dan raut piasnya tak dihiraukan. Sikap zalim itu dilakukan dengan dalih untuk menghormati Ramadhan yang tertuang dalam Perda kota Serang, namun nyatanya malah menabrak nilai-nilai luhur dari bulan suci itu sendiri.

Tema utama puasa Ramadhan adalah pengendalian diri. Satu bulan itu umat Muslim diuji, baik fisik maupun batinnya. Sisi kebinatangan dalam diri manusia digembleng agar tidak semakin buas. Hawa nafsu kita dibakar. Interpretasi dari Ramadhan yang mengandung makna terbakar. Justru himbauan demikian mendelegitimasi substansi Ramadhan sebagai bulan ujian. Bukankah tidak ada kenikmatan kecuali setelah perjuangan dan rasa lelah? Ini sudut pandang yang harus ditumbuhkan individu pelaku puasa.

Pada skala sosial, menyuruh warung makan tutup karena takut mengganggu orang puasa itu aneh dan rancu. Kita yang berpuasa tapi menuntut pihak lain untuk menyesuaikan diri. Kenapa saya katakan menuntut? Karena regulasi positif kerap dijadikan pion instrumen untuk ‘mendidik’ masyarakat perihal etika menghormati orang puasa, yang terbukti kontraproduktif.

Baca Juga  Modernisasi Butuh Spesialis, Bukan Kontroversialis

Harus ada rekonstruksi cara pandang dan sikap keberagamaan umat, terutama pemangku kebijakan, di tengah derasnya lontaran wacana atau regulasi yang sering kali bias dan kontraproduktif. Sebab itu, pendewasaan pemahaman keberagamaan menjadi begitu mendesak untuk dilakukan di tengah masyarakat melalui literasi keberagamaan. Abid Rohmanu dalam Nalar Kritis Keberagamaan menjelaskan, bahwa literasi keberagamaan merupakan kemampuan masyarakat dalam memahami titik temu fundamental antara agama (Islam) dengan dimensi sosial, budaya, dan politik.

Penganut agama yang literat, paling tidak memiliki pemahaman dasar bahwa dimensi agama sangatlah luas. Agama tidak hanya ritual ibadah orang per orang. Agama juga terlibat dalam dimensi sosial. Ini pula yang menjadikan kesalehan sosial sebagai satu kesatuan kerangka dengan pelaku ibadah yang tulus. Surat al-Ma’un adalah peringatan yang jelas, bahwa ritual personal akan sia-sia manakala abai pada realitas kesulitan di tengah masyarakat. Allah menyebut pelakunya sebagai pendusta agama.

Literasi dikembangkan tak hanya untuk transfer pengetahuan keagamaan pada masyarakat, melainkan memberikan pemahaman mengenai Islam, sehingga akan terbentuk manusia-manusia bijak dalam menyikapi kenyataan kehidupan yang mejemuk. Memahami merujuk pada kemendalaman menyelami ajaran. Tidak mandek pada kulit ari ajaran Islam, tapi menghujam dalam ke sisi esoterik agama ini.

Paradigma substansialis dengan penekanan pada pokok ajaran Islam yang mengarah pada spiritualitas, moral, dan akhlak harus menjadi prioritas dalam mendidik masyarakat melalui gerakan literasi keberagamaan. Dengan demikian, teks agama yang normatif akan menjadi praktik keberagamaan yang realistis dan merangkul. Masyarakat pun akan kian melek dan arif.

Dalam konteks sosial-kemasyarakatan, saling menghormati didasarkan pada prinsip mengindarkan kerugian bagi semua pihak. Melarang pedagang makanan berjualan tak hanya merugikan mereka, tapi juga menyulitkan kalangan yang tak berpuasa. Hanya perlu mencari jalan tengah perihal operasional, semisal membatasi pelayanan untuk dibungkus saja dan tidak makan di tempat. Mengingat kondisi pandemi yang juga belum pulih seutuhnya. Atau dengan mekanisme lain yang santun dan bijak

Perlu ditegaskan, himbauan semacam itu tak selaras dengan etika sosial-keagamaan. Institusi agama seperti MUI semestinya hadir dengan wacana-wacana arif dan mendamaikan semua pihak. Membiarkan tempat makan tetap buka tidak akan mereduksi kesucian bulan Ramadhan. Yang menodai Ramadhan adalah beribadah secara egois dan melalaikan kewajiban moral sebagai makhluk sosial. Kita berpuasa tidak dalam rangka mencari pengakuan manusia bahwa kita sedang beribadah. Puasa adalah ritus ibadah sunyi dan bersifat rahasia antara seorang hamba dengan Tuhan.

Manusia beragama yang menjalani puasa secara autentik akan fokus pada pencerahan internal dirinya. Sebanyak apapun makanan di hadapan bukan perkara. Ia tidak akan menuntut penghormatan, tapi belajar menaruh takzim penuh pada siapapun yang tak berpuasa, tanpa sekalipun mencelanya. Selamat menggali makna luhur puasa. Resapi lalu jalankan setulusnya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.