Menghormati Ritual Pawang Hujan

KolomMenghormati Ritual Pawang Hujan

Sebagian masyarakat Muslim kembali membuat kontroversi. Kali ini soal pawang hujan dalam perhelatan MotorGP Mandalika. Upaya memodifikasi cuaca dengan jasa pawang hujan berkekuatan magis yang bersumber dari kearifan lokal dan budaya tradisional ini, telah menarik banyak media internasional. Namun, praktek pawang hujan ini justru mendapat tanggapan keras dari sebagian kaum Muslim Tanah Air di media sosial. Mereka menyebut ritual menghentikan hujan sebagai perbuatan syirik, dan pawang hujan adalah profesi musyrik. Kegaduhan bernuansa agama semacam ini, lagi-lagi, mencoreng komitmen keberagamaan publik di negeri ini.

Sebagian besar masyarakat Muslim kita masih menderita kerancuan nalar keberagamaan, terutama dalam membedakan apa yang private dan yang publik. Tidak sedikit yang menganggap bahwa pandangan agamanya harus diterima dan diterapkan oleh semua orang, serta menjadi standar bagi masyarakat umum. Di tengah konteks masyarakat yang pluralistik dengan berbagai latar belakang agama dan keyakinan, penghadiran agama di ruang publik mestinya tunduk pada apa yang disebut ‘publik reason‘, yakni selaras dengan nalar publik dan bisa diterima oleh siapaun. Tentu saja, nalar publik kita mengacu pada toleransi dan Bhineka Tunggal Ika.

Untuk itu, kita, umat Islam indonesia, tidak sepatutnya hadir di ruang publik dengan fatwa-fatwa dan klaim-klaim yang sesungguhnya hanya berlaku bagi umat Islam sendiri saja. Seperti contohnya dalam kasus pawang hujan ini. Umat Islam meyakini bahwa ritual ini tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi dalam keyakinan lain di negeri ini atau bagi orang yang mempraktekkannya, ritual ini sah dan wajar. Sehingga kita tidak semestinya membawa isu ‘kemusyrikan’ keranah publik dan menilai praktik ini berdasarkan standar sendiri sehingga menimbulkan pertentangan dan kegaduhan.

Perspektif fikih, penilaian halal-haram kita itu, cukup menjadi ranah privat kalangan umat Islam sendiri. Sedangkan apa yang dapat diterapkan dari Islam secara luas kepada seluruh umat manusia, ialah akhlak, bukan legal-formal fikihnya. Aturan formal Islam yang diatur dalam fikih jelas hanya berlaku bagi umat Islam, tetapi ajaran akhlak dan pesan tentang amal, kebaikan, bakti, dan kebajikan, berlaku untuk seluruh insan manusia. Dengan Akhlak, ajaran Islam terealisasi secara sempurna dalam kehidupan. Ada banyak indikasi dalam al-Quran dan Sunnah bahwa, sebagian besar paradigma moral kita berlaku untuk umat manusia secara umum.

Kaum Muslim harus menghormati agama-agama selain Islam. Rumah ibadah mereka, simbol agama yang mereka sakralkan, ritual keyakinannya, dan tokoh-tokohnya, juga harus mendapatkan penghormatan. Maka dari itu, al-Quran melarang keras umat Islam untuk melakukan penghinaan terhadap keyakinan dan simbol-simbol kesucian agama dan keyakinan orang lain. Hal ini dinyatakan dalam Surah al-An’am ayat 108, Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah.

Dampak sosial dari perilaku olok-olok atau mempermalukan keyakinan orang lain tentu tidak sederhana. Tindakan tersebut dapat memicu sikap saling membenci, saling mencurigai, yang pada gilirannya kita tidak bisa hidup berdampingan secara damai. Menghina tuhan maupun simbol agama orang lain itu terlarang. Dalam Tafsir Tematik Kemenag, Hubungan Antar Umat Beragama (2008), dijelaskan lebih lanjut bahwa, larangan ayat ini bukan kepada hakikat tuhan-tuhan mereka, namun pada tindakan penghinaan. Lagi pula, penghinaan tidak menghasilkan kemaslahatan agama. Agama Islam datang dengan bukti kebenaran, sedang makian biasanya ditempuh oleh mereka yang lemah. Jadi, umat Islam justru diperintahkan untuk menunjukan toleransi dan penghormatan kepada eksistensi agama lain.

Selain itu, Islam sangat mendorong akhlak yang baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Perintah untuk berbuat baik kepada orang lain, disampaikan secara berulang di dalam al-Quran. Kita senantiasa diingatkan untuk berbuat baik (ihsan) secara umum terhadap hampir semua jenis orang dalam masyarakat, salah satunya dalam Surat an-Nisa ayat 36 ini,

…Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri (QS. An-Nisa: 36).

Perintah berbuat baik tersebut, berlaku secara umum. Kerabat, tetangga, teman, musafir, anak-anak yatim, yang disebutkan dalam ayat itu tidak dikhususkan bagi yang muslim saja. al-Qurtubi misalnya, menjelaskan implikasi dari ayat tersebut bahwa, berbuat kebajikan itu diperintahkan baik kepada seorang Muslim atau orang yang tidak beriman, yakni kebajikan dalam arti simpati dan persahabatan yang baik, melindungi dari bahaya, dan membela dari orang lain.

Baca Juga  KH Achmad Siddiq: Menjernihkan Hubungan Pancasila dengan Islam

Masyarakat Islam juga didorong untuk memberikan suasana sosial yang hangat, kepada saudara seiman maupun tidak. Islam mendorong kaum Muslim untuk menjalin pergaulan, silaturahmi, dan keramah-tamahan dengan umat agama lain dalam satu komunitas masyarakat. Bahkan, Allah menegaskan kehalalan makanan baik yang diberikan tetanggan maupun kerabat non-Muslim dalam QS. Al-Maidah ayat 5. Hal demikian, berpengaruh besar untuk menghilangkan keraguan pergaulan dan kerukunan lintas agama.

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka… (al-Maidah: 5)

Makanan merupakan hal yang amat asasi bagi setiap makhluk hidup. Meskipun antara muslim dan non-Muslim memiliki gaya konsumsi yang berbeda, tidak perlu ada keraguan maupun kecurigaan dalam menjalin hubungan kekeluargaan dan keakraban yang diliputi budaya berbagi makanan. Oleh karena itu, penegasan tentang kehalalan suguhan makanan non-Muslim, merupakan dukungan untuk menjalin keakraban dengan kerabat maupun tetangga non-Muslim.

Sebagaimana yang dituturkan oleh Sayyid Qutub dalam tafsirnya Fi Zilalil Quran bahwa, kehalalan makanan yang baik dari non-Muslim itu, dirumuskan supaya terjadi saling mengunjungi, saling bertamu, saling menjamu makanan dan minuman, serta agar semua anggota masyarakat berada di bawah naungan kasih sayang dan toleransi.

Pada dasarnya, banyak dari dalil al-Quran dan hadits yang mengatakan ‘saudara’ tetapi sebenarnya prinsipnya melampaui lingkaran Muslim. Misalnya, Nabi SAW pernah bersabda, Seorang pria tidak boleh merusak transaksi saudaranya (Sahih Muslim, no. 1408). Kata ‘saudara’ di sini digunakan sebagai kata pengganti untuk saudara dalam kemanusiaan, yang berarti termasuk juga non-Muslim. Seorang ulama, Sulayman ibn ʿUmar al-Jamal dalam kitabnya Hashiyat al-Jamal ʿala sharḥ al-Manhaj (1990, vol. 3, hal. 30), menulis komentar untuk hadis ini bahwa, saudara itu meliputi “Warga non-Muslim (zimmi), non-Muslim dalam perjanjian damai (mu’ahid), dan non-Muslim diberikan kekebalan (musta’min) semua seperti saudara Muslim dalam hal ini”.

Misalnya lagi, hadits sebuah hadis yang berbunyi, Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya (HR. Bukhari no. 13). Kata ‘saudara’ yang biasa diartikan sebagai saudara laki-laki atau perempuan Muslim, sebenarnya juga berlaku untuk orang pada umumnya atau sesama manusia, yaitu tetangga, kerabat, teman dan orang-orang yang berinteraksi dengan Muslim secara damai. Versi lain hadis ini, yang diriwayatkan Imam Ahmad no. 13875, bahkan menggunakan ungkapan yang lebih luas, yaitu ‘orang-orang’. Seorang non-Muslim yang memiliki hubungan damai dengan Muslim, kehidupan, properti, dan reputasi mereka dianggap sama dengan Muslim.

Pada intinya, akhlak baik Muslim dalam kehidupannya harus diamalkan juga dalam hubungan dengan non-Muslim dan para penganut kepercayaan lokal. Islam mengembangkan akhlak baik pada semua orang. Seorang Muslim harus menghormati dan menghargai individu lain, tanpa melihat apakah pihak lain itu sealiran, sesuku, seide, semazhab, seagama atau tidak, sebab Muslim diharapkan cukup berorientasi pada kebaikan Allah. Dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (al-Qashash: 77). Jadi, berbuat baik bahkan tidak perlu melihat apakah pihak tersebut pernah berjasa atau pernah berbuat baik kepada kita juga atau tidak.

Kesimpulannya, seorang Muslim harus menunjukan akhlaknya pada seluruh umat manusia, tidak terbatas pada Muslim saja. Kata ‘saudara’ pada perinsipnya bisa berarti ‘orang’ secara umum atau persaudaraan manusia, karena setiap orang memiliki ikatan yang sama berdasarkan Adam dan Hawa. Islam sangat mendorong perilaku yang baik terhadap sesama umat manusia, baik Muslim maupun orang dengan keyakinan lain.

Dengan demikian, sudah seharusnya kita menghormati ritual pawang hujan maupun ritual keagamaan apapun yang dipraktekkan orang lain. Kita tidak perlu selalu memberikan penilaian berdasarkan hukum fikih Islam kepada publik yang plural, apalagi kepada orang dari latar belakang keagamaan yang berbeda. Memaksakan pandangan kita kepada orang lain yang memiliki pandangan berbeda adalah sikap berlebihan, dan sampai taraf tertentu dapat menjaditindakan ekstrem. Negara kita menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Satu-satunya yang harus kita aplikasikan di ruang publik ialah akhlak baik, di dunia nyata maupun di media sosial. Yakni perbuatan baik, amal, kasih sayang, perlindungan, dan penghormatan kepada non-Muslim dan eksistensi agamanya dan keyakinannya.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.