Ketika Omong Kosong Lebih Penting daripada Pakar

KhazanahBukuKetika Omong Kosong Lebih Penting daripada Pakar

Judul : Matinya Kepakaran (The Death of Expertise)

Tahun : Cetakan keempat, Februari 2020

Penulis : Tom Nichols

Penerjemah : Ruth Meigi P.

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Halaman : 320 halaman

Keberlimpahan informasi di internet berimplikasi pada tenggelamnya eksistensi para pakar. Ini yang menjadi lahirnya buku “Matinya Kepakaran” atas keresahan bahwa era digital saat ini kian menggiring banyak opini masyarakat untuk mematikan peran pakar sebagai sumber pengetahuan kredibilitas lantas menggantikannya dengan informasi google, wikipedia, blog, dan lainnya, sebuah fasilitas informasi bagi siapapun yang ingin berceloteh meski yang dituliskannya itu tak berdasar, bahkan membahayakan bagi pembacanya.

Tom Nichols mengawali dalam bukunya sebuah peristiwa yang terjadi pada 1990-an, satu kelompok kecil “penyangkal AIDS”, termasuk seorang dosen University of California, Peter Duesberg menentang konsensus dunia media bahwa Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Padahal, kepercayaan Duesberg ini ternyata tidak berdasar. Faktanya, para peneliti menemukan HIV, para dokter, pejabat kesehatan publik mampu menyelamatkan banyak nyawa melalui tindakan pencegahan.

Betapapun yang dikatakan Duesberg ini hanya ucapan ngawur dan selesai begitu saja bagi dirinya, tetapi dampak ini terus membuntuti orang lain yang memercayai ucapan tersebut. Ironisnya, satu teori ngawur melumpuhkan kepercayaan banyak masyarakat terhadap para pakar. Bahkan, Thabo Mbeki yang kala itu menjadi presiden Afrika Selatan, memercayai kengawuran itu dan berakibat tumbangnya tiga ratus ribu nyawa melayang. Namun, ia tidak merasa sepenuhnya itu adalah kesalahannya. Andaikan Thabo Mbeki tidak termakan dengan kengawuran ini, kemungkinan besar ada banyak nyawa yang seharusnya masih bisa terselamatkan melalui saran pencegahan pakar sains.

Pada kesempatannya, buku ini mencoba mengulas secara detail apakah peran pakar benar-benar masih dibutuhkan di tengah melimpahnya informasi di internet. Meski begitu, Tom Nichols dengan gamblang menganalogikan internet dengan Hukum Sturgeon mengatakan, “90 persen dari semua hal (di dunia maya) adalah sampah”. Boleh jadi anda tidak setuju dengan pernyataannya, tetapi argumentasi ini berlandaskan banyaknya hoaks, sehingga ruang publik dibanjiri informasi tidak penting dan sajian pemikiran setengah matang. Semua orang dapat mengunggah apapun di internet tanpa melihat lebih jauh dampak buruk yang terjadi kedepannya.

Sebenarnya pakar di sini juga dapat ditunjukkan kepada para wartawan dan reporter sains merupakan ilmuwan, sebab mereka melakukan penelitian dan ditunjang pelatihan yang memadai. Posisi mereka sangat sentral untuk menjadi wasit diperseteruan antara ketidaktahuan dan pembelajaran. Namun, apa jadinya jika masyarakat menuntut untuk dihibur dan bukannya diberi informasi. Pada akhirnya, masyarakat sendiri yang membentuk pola, bad news is good news. Sebuah fenomena yang sulit dihindari.

Pada gilirannya, teori konspirasi menjadi menarik untuk dipermainkan. Segala penjelasan berita harus dramatis karena mereka tidak memiliki kesabaran dan kesulitan memahami hal-hal rumit secara runut. Mereka lebih memercayai omong kosong meski rumit, ketimbang harus menerima penjelasan-penjelasan di luar pengetahuannya. “Sebagian kita memang tidak cukup cerdas untuk mengetahui bahwa kita salah, sebaik apapun niat kita”.

Baca Juga  Etika dalam Berdakwah

Namun, apakah itu artinya kita harus selalu mengikuti pakar tanpa pilihan lain? Tentu tidak demikian, pakar memang memiliki penguasaan yang baik terhadap pengetahuan, meski boleh jadi ia bisa berbuat keburukan. 

Sebab di Amerika sendiri pada 2015, pengalaman buruk yang pernah diakibatkan pakar dan warga Amerika benar-benar melakukannya, yakni tentang diet telur yang berujung pada obesitas dan mereka meninggal. Sampai pada keputusan pemerintah bahwa konsumsi telur tidak terlalu buruk daripada makanan lain yang disarankan. Karena itu, masyarakat harus cerdas juga berdasarkan kapasitas pengetahuan dan pengalamannya.

Prediksi yang didesak orang awam terhadap para pakar juga menjadi komoditas yang paling laku, akan tetapi tidak menyehatkan. Menurut Nichols, seorang pakar akan memiliki banyak peminat jika ia memiliki banyak prediksi atau peramal masa depan, daripada pakar yang menawarkan saran penuh dengan keterbatasan. Alih-alih profesi kepakaran yang bertugas meneliti secara luas dan mendalam, berubah menjadi pakar amatir yang tugasnya memprediksi dengan pemikiran setengah matang. Sekadar memenuhi kebutuhan minat pasar masyarakat awam yang lazimnya menjadi andalan dikelabui para politisi yang mengampanyekan hidup sejahtera, padahal tujuan utamanya tidak lain untuk mengamankan suara pemilihan.

Saya akui kalau harus mengafirmasi testimoni yang disampaikan Publisher Weekly, Jika yang ditulis Tom Nichols itu sepenuh hati, buku ini akan membuat para penggila berita dan politik mengangguk menyetujui isinya. Bagi saya buku Matinya Kepakaran sudah cukup lengkap menggambarkan situasi pelik dengan adanya informasi internet masa kini dan krisis kepakaran. Walaupun yang dijelaskan berulang-ulang dalam adalah kondisi atau peristiwa-peristiwa yang ada di Amerika, kiranya permasalahan yang dialami oleh berbagai belahan dunia pun tak jauh berbeda, tak terkecuali di Indonesia.

Buku Matinya Kepakaran sangat related dengan kondisi era digital dan edukasi bagi netizen Indonesia yang sempat menggemparkan dengan adanya penilaian, konon netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Itu sebabnya, buku ini patut dibaca untuk menyadarkan tentang berbagai hal agar melihat informasi secara berimbang. Impresi yang saya dapat setelah membaca buku ini terkait media sosial adalah sebagaimana yang disebut pembuat karya, yakni menempatkan diri menjadi lebih rendah hati, mencari informasi dari sumber yang bervariasi, mengurangi sinis terhadap suatu kelompok, isu, atau orang tertentu, dan lebih selektif dalam memandang atau membaca sebuah informasi berita.

Pada kesimpulannya, pakar memiliki tanggung jawab yang mendidik. Pemilih memiliki tanggung jawab untuk belajar. Terlepas dari banyak nasihat yang diberikan kelompok profesional hanya masyarakat yang dapat memutuskan arah pilihannya. Hanya pemilih bertanggung jawab, yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan segala permasalahan hidup keluarga, sosial, dan negara mereka.

Namun, sejauh ini peran pakar masih lebih baik dari sumber informasi apapun, karenanya Tom Nichols menekankan bahwa pakar di sini wajib membantu dan mengambil peran di setiap persoalan sesuai bidangnya. Selain itu, agar budaya intelektual juga tidak punah, sehingga para pakar terus mempertajam keilmuannya dan berupaya memperbaiki segala kekeliruan yang pernah terjadi.

Artikel Populer
Artikel Terkait