Ukhuwwah Nahdliyyah Juga Penting Loh

KolomUkhuwwah Nahdliyyah Juga Penting Loh

Bangsa Indonesia, tidak pernah sepi dari pelbagai aksi intoleran dan radikalisme akibat polarisasi politik dan perbedaan ideologi keagamaan. Kerukunan, kemajemukan, dan keramahtamahan masyarakat yang telah dikenal luas, sangat rentan oleh potensi konflik yang mengusik kehidupan bersama. Meskipun di permukaan, tidak tampak persoalan serius, akan tetapi terlihat semenjak media digital internet berada dalam genggaman tangan sehingga orang dengan mudah berselancar menyebarkan ujaran kebencian.

Persoalan semakin pelik ketika para politisi demagog berupaya mengonsolidasi—buzzer dan influencer politik—sekaligus meraih kepentingan kuasa dan mencari keuntungan materi. Dalam konteks ini, tengah ramai soal kontroversial dari Permadi Arya, atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Janda al-Boliwudi yang dianggap telah melakukan rasisme melalui media sosial Twitter. Ia merupakan penggiat media sosial yang cukup represif dalam merespon fenomena kelompok-kelompok Islam ekstrem kanan.

Abu Janda dilaporkan oleh beberapa organisasi, akibat cuitannya yang dianggap mengandung rasisme terhadap salah satu kelompok tertentu.Terlepas dari perdebatan panjang benar atau tidaknya, saya sendiri menyerahkan sepenuhnya oleh pengak hukum untuk memproses laporan terkait dugaan rasisme itu.

Faktanya, Abu Janda adalah warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin) dan salah satu anggota Barisan Ansor Serbaguna (Ansor Banser) yang telah dibaiat. Meski saya sendiri kadang-kadang kurang menyukai gaya komunikasi Abu Janda dalam menanggapi sesuatu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia telah berkontribusi besar dalam membawa pesan-pesan kebangsaan GP Ansor untuk melawan kelompok-kelompok yang berusaha merusak keutuhan dan kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), di luar mainstream orang, melalui joke dan satire.

Seringkali Abu Janda memparodikan berbagai hal yang menjadi persoalan serius dalam sikap keberagamaan kita. Hal itu tentu membutuhkan tingkat kecerdasan tinggi. Maka tidak aneh jika sebagian Nahdliyin merasa terwakili oleh kelakarnya dalam merespon problematika ketegangan beragama yang tengah menggeliat. Karena humor dan satire merupakan sesuatu yang dekat dengan kebiasaan orang NU yang santai. Selain itu, keberaniannya, ia tunjukkan dalam memparodikan kaum hijrah khilafah, para simpatisan FPI, dan kelompok-kelompok radikal lainnya. Hal itu tidaklah memiliki resiko yang kecil, nyawa sebagai taruhannya.

Walaupun gaya komunikasinya sesekali tidak jauh berbeda dengan lawan yang ia respons—Sugi Nur, Felix Siauw, Tengku Zulkarnain, dan lainnya—tetapi tentu memiliki kualitas yang jauh lebih tinggi dengan kewarasannya dalam menilai berbagai perbedaan sebagai sunnatullah yang tidak dapat dihindari, apalagi menafikan. Hanya saja, ia masih terlihat minim dalam pengetahuan agama yang benar, sehingga terkadang perkataannya acap kali mendorong kebencian dan kemarahan banyak pihak.

Di sinilah saya kira peran para kiai NU dan Ansor Banser yang alim untuk merangkul dan membimbing Abu Janda secara perlahan. Dan bukan justru memusuhi dan mengeksklusi. Yang jadi pertanyaan, apakah karena sekarang eranya elite NU berkuasa dengan menduduki berbagai sektor dan proyek strategis sehingga tidak peduli—bahkan tidak mengakui—Abu Janda sebagai warga Nahdliyin?

Karena bagaimanapun ia adalah salah satu dari jutaan warga Nahdliyin di seluruh Indonesia yang juga banyak kesalahan dan kekhilafan. Proses tabayyun, dialog, dan meminta klarifikasi sebagai bagian dari tradisi NU, seharusnya lebih dikedepankan. Sebagaimana Gus Miftah dalam tabayyunnya dengan Abu Janda di Podcast dan Youtube Deddy Corbuzier pada, Senin (1/2/21). Proses saling memaafkan dari keduanya menunjukkan Islam yang sesungguhnya.

Perbedaan pendapat menjadi hal yang biasa dalam proses demokrasi. Begitupun dalam tradisi NU dengan perdebatan lembaga Bahtsul Masail sebagai ajang reformasi pemikiran era kontemporer dan kekinian.Maka tidak perlu kaku dan keras juga dalam menanggapi sesuatu, sebab demikian bukan bagian dari tradisi Nahdliyin.

Baca Juga  Amal Manifestasi Iman

Apalagi berdasarkan data penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2016, penduduk Indonesia yang menganut agama Islam berjumlah 223,18 juta jiwa, dan kisaran 60-120 juta jiwa sebagai warga Nahdliyin, angka yang beredar di media. Dalam buku karya Mohamad Sobary, NU dan Keindonesiaan (2010), mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Muzadi menyatakan jumlah warga NU berkisar 60 juta jiwa. Bahkan Gus Dur menaksir lebih dari 50% atau sekitar 120 juta jiwa penduduk Indonesia adalah warga NU.

Belum lagi data dari survei Alvara Research Center pada Tahun 2018 yang lalu. Dalam segi ritual, 80% mayoritas Muslim Indonesia mengaku mengikuti ritual keagamaan khas NU seperti qunut, tahlil, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, jangan aneh jika banyak warga Nahdliyin—tidak hanya seorang Abu Janda—yang tampak melakukan kesalahan yang dianggap orang asing dan tak termaafkan.

Di luar sana, banyak pencopet, preman, atau bahkan maling ayam sampai perampok uang rakyat yang juga mengaku sebagai warga Nahdliyin. Untuk itu, tidaklah bijak dan tepat men-judge atau menganggap benalu dan penyusup satu orang NU dari sekian banyak mayoritas warga Nahdliyin.

Sesekali harus kita akui sebagai bentuk introspeksi diri yang mempertanyakan peran kita masing-masing dalam NU. Pernahkah kita menuntun, mengarahkan, atau setidaknya menegur Abu Janda untuk tidak membuat statement yang berbau provokatif dengan mengatasnamakan NU? Orang-orang semacam Abu Janda ini yang perlu kita didik menuju jalan yang lurus dan benar, terlepas ia pernah berbuat kesalahan.

Padahal etika dalam NU, semuanya cair. Jati diri NU yang senantiasa mengonsolidasikan—tidak hanya politik, melainkan juga kemanusiaan—begitu kokoh dalam jalinan persaudaraan Nahdliyin (ukhuwwah Nahdliyyah). Ukhuwwah Nahdliyyah yang dibangun NU dengan ubudiyah kejamaahan, dapat memperkuat jalinan silaturahmi yang mentradisi dalam organisasi. Berbagai bentuk kerja sama konkret, sama sekali tidak boleh yang bersifat komersial, akan tetapi dibangun melalui rasa persahabatan dan persaudaraan yang kokoh, sehingga menjadikan soliditas yang kuat.

Tidak dapat dipungkiri, tidak mudah merajut persaudaraan NU. Mengingat bahwa dalam tubuh NU sendiri mengalami singgungan-singgungan kecil yang meretakkan. Jika jalinan ukhuwwah Nahdliyah tidak segera dibangkitkan, peran besar NU sebagai benteng sekaligus penyangga keutuhan bangsa akan semakin memecah belah persatuan dan kesatuan yang berujung pada konflik yang lebih besar.

Dengan polarisasi dan sektarianisme yang terjadi, mestinya NU memperkuat tali ukhuwwah Nahdliyyah. Kita mulai saat ini, dari sekarang ini sehingga kita segera menampik narasi bahwa NU tidak terorganisir dengan baik, masing-masing memiliki kepentingan komersialisasi pribadi sekaligus tidak mementingkan jam’iyah NU, dan politisasi NU yang menjadi perhatian dan bentuk keprihatinan banyak pihak.

Kalau ukhuwwah Nahdliyyah saja tidak dapat diselesaikan dengan baik, bagaimana memperbaiki problematika yang lebih universal, yakni ukhuwwah Islamiyyah dan ukhuwwah Insaniyyah atau Basyariyah. Hal ini yang harus segera kita respons sebagai bentuk refleksi dalam membangun komitmen ke-NU-an dan keindonesiaan.

Demikian ukhuwwah Nahdliyyah menjadi penting sebagai elan vital bagi jam’iyyah NU. Bukan berarti bersikap eksklusif, melainkan sebuah modal langkah gerak awal yang lebih besar dan universal demi cita-cita pembangunan nasional. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.