Hikmah Positif Covid-19

KhazanahHikmahHikmah Positif Covid-19

Belum lama ini saya positif Covid-19, menjadi partisipan resmi dari sejarah wabah. Puji syukur saya pulih dan telah dinyatakan negatif secara medis. Barangkali tulisan ini terasa klise, mengingat sudah banyak orang yang berbagi cerita sebagai penyintas Covid-19. Terlebih lagi, orang telah cenderung menanggapi pandemi dengan nada kebosanan. Namun demikian, apa yang saya alami dan pelajari, semoga bisa menjadi setetes sumbangsih kebaikan dan hikmah bagi sesama.

Sekitar pekan terakhir Juni 2021 lalu saya merasakan adanya gejala permulaan kovid seperti pada umumnya, demam dan batuk. Sedari awal kemunculan gejala, saya telah menduga kuat bahwa saya positif terpapar. Pasalnya, sebelum itu saya berinteraksi dengan orang dalam jumlah banyak, berada di area rawan, dan di momen itu memang saya kurang tidur. Dugaan kian menguat saat gejala kovid semakin bertambah. Singkat cerita, setelah tiga hari isolasi mandiri, saya melakukan tes usap (swab) dan menunjukkan hasil positif.

Dari proses terpapar itu, hal pertama yang saya sadari adalah betapa pentingnya menjaga diri, mulai dari asupan makanan, kecukupan istirahat, kestabilan pikiran, dan berolahraga. Kebetulan saya sedang lalai menjaga pola istirahat, dan sektor inilah yang saya yakini menjadi celah virus itu menginvasi.

Kondisi tubuh yang stabil dan fit adalah variabel terpenting dalam situasi sekarang. Saya tidak hendak menguraikan secara medis, sebab bukan kapasitas saya. Hanya saja, ketika melihat ada banyak teman saya yang tetap sehat padahal mereka dalam forum dan lokasi yang sama dengan saya, dari sini menunjukkan bahwa kondisi diri adalah faktor kunci dalam berduel dengan virus ini.

Sebagaimana teori kebijaksanaan kesehatan Hipocrates, filsuf yang juga seorang dokter, bahwa yang lebih penting untuk dipahami ialah orang yang sakit ketimbang penyakit apa yang diderita orang tersebut. Dengan kata lain, fokus utama dalam mencegah dan mengobati suatu penyakit terletak pada bagaimana manusianya, seperti bagaimana cara berpikir ataupun gaya hidup yang dijalaninya.

Dari setiap kondisi buruk, selalu ada sisi positif yang bisa disyukuri. Bukankah Allah menjanjikan tambahan nikmat bagi hamba-Nya yang bersyukur? Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim [14]: 7). Oleh sebab itu, menejemen syukur menjadi hal yang perlu dilatih dalam kondisi apapun.

Ketika dilanda sakit, saat itu pula kita menyadari betapa nikmatnya karunia sehat yang Allah titipkan. Dan saat berangsur pulih, pengalaman sakit tadi membuat saya relatif lebih peka pada ledakan-ledakan kecil sukacita dan anugerah-anugerah sederhana. Tiba-tiba saya merasakan betapa senangnya bisa kembali membaca surat al-Fatihah tanpa terengah-engah saat shalat.

Baca Juga  Islam Fundamentalis dalam Bingkai Siber  

Terdengar sepele mungkin. Tapi menjadi berharga karena semasa positif saya merasakan sulitnya melantunkan surat dengan napas pendek-pendek dan batuk yang tak henti ketika shalat. Saya rasa, hikmah dasar yang membingkai pengalaman ini adalah pertumbuhan kesadaran serta kerja sensitivitas diri yang membaik.

Syahdan, dalam momen tak mengenakkan itu, saya merasakan oase kasih sayang luar biasa dari berbagai penjuru. Kebaikan itu mengalir dari tetangga, teman, keluarga, saudara, dan orang-orang sekitar yang bahkan saya hanya sekadar tahu namanya. Mereka berulang kali mengirim makanan, menawarkan bantuan, juga aktif menanyakan perkembangan keadaan. Teori  makhluk sosial terasa amat nyata. Bahwa manusia, saya, butuh orang lain untuk bertahan. Dan budi baik adalah hal yang harus dijaga, untuk dibalas pada waktunya. Itulah mengapa, sejatinya kebaikan itu menular.

Kebetulan, saya berkesempatan positif di tengah grafik korban kovid yang terus naik. Dan semua orang memang sedang kesulitan mendapat pelayanan kesehatan. Ada rasa frustrasi, karena saya tinggal di indekos yang cukup padat penghuni dan juga ditempati oleh orang lanjut usia, sedangkan saya tidak mendapatkan tempat untuk isolasi di fasilitas kesehatan. Kekhawatiran terbesar adalah jika saya menjadi biang penularan dan membahayakan orang lain. Adapun secara kondisi diri, saya pribadi yakin akan pulih, maka hal ini tak terlalu mengganggu.

Dari hal tersebut, saya belajar mengendalikan diri untuk berpikir tenang dan logis. Saya hanya perlu melakukan apa yang harus dilakukan dan membiarkan apapun yang harus terjadi. Filsafat Stoa ini ternyata sejalan dengan konsep ikhtiar dan tawakal dalam Islam. Artinya, tugas saya adalah berusaha maksimal dengan mengikuti ketentuan protokol kesehatan yang ditetapkan sembari berdoa dan memasrahkan segala hasilnya pada Tuhan. Sejak itu, saya mulai menerima apa yang harus saya jalani serta memfokuskan energi untuk penyembuhan dan pada apa yang masih bisa saya kendalikan.

Eksistensi virus ini adalah nyata, yang oleh ahli disebut bahwa memang mereka niscaya atau selalu ada. Itu menjadi hal di luar kontrol kita dan tak bisa dimusnahkan begitu saja. Karenanya, strategi terbaik adalah fokus pada kesiapan diri untuk berhadapan dengan makhluk tersebut selain juga upaya medis lain seperti penelitian berkelanjutan pada virus dan obatnya.

Kejadian apapun yang mampir di kehidupan memberikan kesempatan kita untuk belajar dan memetik hikmah. Jangan terlarut dalam keluh agar dapat senantiasa menemukan mutiara syukur. Mari saling jaga dan kuatkan solidaritas bersama, karena kita adalah makhluk yang saling bertaut. Harapannya, catatan ini bisa memperpanjang mata rantai kebaikan. Dan semoga ujian ini lekas mereda, agar keseharian kita tak lagi diliputi dengan kabar duka. Wallahu a’lam.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait