Menghindari Candu Belanja Online

KhazanahHikmahMenghindari Candu Belanja Online

Perpaduan aplikasi belanja online dan mobile banking di smartphone, merupakan penyebab ‘krisis ekonomi di tengah pandemi’. Candaan ini sedang relatable bagi semua orang, khususnya generasi muda. Kita mengeluhkan pengeluaran yang lepas kontrol akibat kemudahan belanja online. Flash sale, promo, diskon dan trik penjualan lainnya, memperdaya siapapun untuk buru-buru checkout belanjaannya tanpa kesadaran utuh.

Rutinitas belanja online yang didorong nafsu ini tidak hanya berdampak pada kemelaratan akhir bulan. Lebih jauh lagi, perilaku berbelanja israf itu menyeret kita kepada budaya konsumerisme yang menenggelamkan jati diri para penganutnya. Jean Baudrillard pernah mengungkapkan fenomena ‘kematian subjek’ dalam masyarakat kapitalisme, yakni saat logika kebutuhan digantikan dengan logika hasrat. Pelaku konsumsi tidak dapat menentukkan apa yang dikehendaki, melainkan mengikuti pola dan sistem yang diberlakukan. Hasrat selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih besar, sehingga tidak akan pernah selesai untuk dipenuhi.

Fenomena ini tentunya bertentangan dengan etika konsumsi masyarakat muslim yang seharusnya, Islam mengajarkan umatnya untuk tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, apalagi tunduk pada hawa nafsu. Sayangnya, saat ini kita masuk jajaran masyarakat paling konsumtif di dunia. Budaya konsumerisme tanpa sadar diadopsi oleh masyarakat Muslim di negeri ini, yang bisa jadi akibat melupakan prinsip dasar konsumsi dalam ajaran Islam.

Kecermatan dalam mengurus harta adalah hal yang fundamental dalam etika konsumsi Islam. Peran akal dalam aktivitas konsumsi sangat vital, bahkan Quraish Shihab menjelaskan, bahwa sampai-sampai al-Quran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun, apabila pemiliknya dinilai boros, tidak pandai mengurus finansialnya secara baik. Dalam konteks ini, al-Quran berpesan kepada mereka yang diberi amanat mengatur harta seseorang, Janganlah kamu memberi orang-orang yang lemah kemampuan (dalam pengurusan harta) harta mereka yang ada di tangan kamu dan yang dijadikan Allah sebagai sarana pokok kehidupan (QS Al-Nisa’ [4]: 5). Hilangnya rasionalitas dalam mengkonsumsi sesuatu alias berbelanja, atau ‘Kematian Subjek’ seperti kata Jean Baudrillard, merupakan sebuah penyimpangan. Islam memerintahkan untuk menggunakan uang pada tempatnya dan secara baik dan rasional, serta tidak memboroskannya.

Pada dasarnya, Belanja online dalam tinjauan fikih hukumnya adalah mubah, sebagaimana diutarakan Yusuf as-Sabatin. Kode etiknya pun tidak jauh berbeda dengan jual beli tradisional, seperti tidak melanggar hukum Islam, barang yang dibeli merupakan barang yang halal, terhindar dari perkara yang haram, serta tidak terdapat unsur riba, kezaliman dan penipuan. Namun di luar pembahasan fikih tersebut, belanja online telah menciptakan sensasi candu yang berbeda dari system transaksi yang pernah dirasakan umat manusia sebelumnya. Kapitalisme yang merambah dunia digital saat ini, tanpa disadari memiliki andil kontrol yang tidak sedikit dalam kehidupan kita.

Baca Juga  Teladan Moral Buya Syafii Maarif

Oleh sebab itu, sangat penting untuk kembali pada ajaran fitrah, yang mengajarkan kesadaran tauhidi atas keputusan apapun. Sehingga tidak mudah dipengaruhi dan ditipu oleh kepuasan semu kapitalisme digital, yang terus membangkitkan hastrat atas sesuatu yang tidak dibutuhkan. Perilaku berbelanja secara sepontan tanpa perhitungan, serta berlebihan dari yang sebenarnya dibutuhkan, meskipun disertai kesanggupan untuk memenuhinya, tentu jauh dari nilai Islami. Kita perlu lebih serius memerhatikan bahwa sifat boros tidak disukai Allah SWT, ini adalah orientasi kesadaran kita. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS. Al-A’raf:31).

Ibnu Abbas, salah satu ulama dari kalangan sahabat, memberikan komentarnya, agar makan dan berpakaianlah menurut selera masing-masing, asalkan kalian terhindar dari sifat berlebih-lebihan dan sombong. Sifat berlebih-lebihan dan sombong akan meracuni bawah sadar kita untuk tunduk pada nafsu pasar. Meminjam Istilah Moeslim Abdurrahman, yaitu hamba “merek dagang”, yang meninggalkan kesadaran sebagai hamba Tuhan.

Kita dituntun untuk menjadi individu yang seimbang, begitu pun dalam hal konsumsi. Sebagaimana firman-Nya, Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian. (QS: Al-Furqon 67). Ibnu Katsir menjelaskan pesan moderasi konsumsi dari ayat tersebut, yakni tidak menghambur-hamburkan harta dalam berbelanja lebih dari apa yang diperlukan, tidak pula kikir. Tetapi membelanjakan hartanya dengan seimbang, selektif, serta pertengahan (moderat). Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.

Prinsip keseimbangan sesungguhnya mengantar kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini pula, Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an menolak dengan amat tegas perputaran sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar pada orang-orang atau kelompok tertentu. Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu… (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Pemborosan adalah permasalahan lama, yang saat ini mendapatkan medan baru di pasar online. Siapapun tentu sudah paham bahwa berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi sesuatu itu tidak baik. Namun, kesadaran akan perilaku pemborosan itu kian disamarkan oleh kemudahan dan kenikmatan berbelanja online. Sulit untuk menyadari betapa borosnya kita sebelum sampai pada titik krisis.

Singkatnya, Kita perlu meneguhkan kembali perinsip konsumsi yang baik, guna membantu kita menavigasi perilaku konsumtif kita. Islam mengajarkan kita untuk rasional, tidak berlebih-lebihan, tidak boros, dinamis, dan wajar (moderat) dalam berbelanja. Inilah perinsip islami yang perlu kita ingat saat berbelanja online.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait