Mengenal Lebih Dekat Kiai Ma’ruf Amin: Menjaga Moderasi Islam (Bagian 4)

BeritaMengenal Lebih Dekat Kiai Ma’ruf Amin: Menjaga Moderasi Islam (Bagian 4)

ISLAMRAMAH.CO, Kiai Ma’ruf Amin dikenal sebagai sosok ulama moderat yang memiliki pergaulan luas dan pemikiran yang distingtif tentang moderasi Islam. Ulama generasi selanjutnya bisa belajar banyak dari sosok Kiai Ma’ruf dalam hal kedalaman keilmuannya dan kemampuannya merangkul para ulama dari berbagai kelompok. Melalui sikap dan pemikirannya yang moderat, ia tidak hanya menjadi pimpinan tertinggi ormas moderat terbesar di dunia, yakni Nahdlatul Ulama, melainkan juga sebagai salah satu ulama Indonesia yang dihormati oleh semua kalangan.

Pendiriannya yang moderat, menjadikan Kyai Ma’ruf relatif mudah untuk merangkul banyak kalangan. Hubungan dengan organisasi massa keagamaan yang lain pun terjalin dengan bagus. “Hubungan kami sekarang makin cair setelah Kyai Ma’ruf menjadi Rais Aam NU. Apalagi beliau juga ketua umum MUI,” kata Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Bahkan tokoh umat agama lain begitu mengagumi Kiai Ma’ruf. “Bangsa ini beruntung memiliki Kiai Ma’ruf karena telah menenangkan bangsa,” kata Romo Benny, seorang Pastor Katolik.

Kiai Ma’ruf begitu prihatin terhadap konflik sektarianisme di Timur Tengah yang sampai saat ini tak kunjung berakhir. Menurut Kiai Ma’ruf, Indonesia harus menjadi contoh negeri moderat bagi dunia Arab. Bayangkan, seluruh jazirah Arab total penduduknya 300 juta jiwa, tersebar di 16 negara, banyak persamaan kultur, agama, serta bahasa. Namun demikian, yang terjadi, peperangan tidak pernah berhenti. Sebaliknya, Indonesia yang memiliki ratusan suku, ratusan bahasa, beda warna kulit, beda rambut, bahkan seluruh agama besar ada, justru tetap bersatu.

Hal itu menurut Kiai Ma’ruf karena negara-negara di Timur Tengah tidak memiliki konsesus moderat semacam Pancasila. “Banyak negara-negara di Arab tak bisa menciptakan solusi kesepakatan (wakharid wathaniyah) atas masalah kebangsaan,” kata Kiai Ma’ruf. Kegagalan mencari solusi kesepakatan tersebut berujung pada pertikaian yang tidak pernah selesai. Rakyatlah yang akhirnya menjadi korban atas keegoisan para pemimpin yang hanya ingin menang sendiri.

Kiai Ma’ruf selalu mengatakan, negara bisa terbentuk karena kesepakatan. Jika kesepakatan dilanggar, akan terjadi perseteruan yang berujung kepada perpecahan bangsa. Untuk melaksanakan kesepakatan itu, harus ada take and give. Indonesia pun begitu, sebagai negara yang dihuni oleh masyarakat dari berbagai pemeluk agama, Indonesia ada karena kesepakatan para tokoh bangsa dan tokoh agama. Jadi negara Indonesia adalah darul ahdi (negara kesepakatan), bukan darul Islam (negara Islam), bukan darul kufri (negara kafir), bukan pula darul harbi (negara perang).

Meskipun demikian, Indonesia bukanlah negara pertama yang menggunakan konsep negara kesepakatan. Nabi Muhammad ketika membangun Madinah pada tahun 622 menggunakan konsep kesepakatan karena di sana bermukim berbagai pemeluk agama. Kesepakatan itu dituangkan pada apa yang disebut dengan Piagam Madinah, yang terdiri atas 47 pasal. Sebanyak 23 pasal membicarakan hubungan umat Islam antara Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin, sisanya 24 pasal membicarakan hubungan umat Islam dengan umat agama lain.

Sepanjang tidak melanggar ajaran Islam, bagi Kiai Ma’ruf, kesepakatan boleh dilakukan. Ketika memutuskan pendirian Indonesia, para ulama sudah melakukan ijtihad sehingga keputusan negara kesepakatan itu tak perlu diragukan lagi. Atas kesepakatan tersebut, Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila sudah merupakan harga mati. Kelompok yang berkhianat terhadap dasar negara, mesti dibubarkan, seperti HTI yang ingin mengubah Pancasila. Ia sangat tegas terhadap Islam garis keras, Ia juga keras terhadap sekuler garis keras yang menabrak norma agama.

Baca Juga  Kiai Said Aqil Siroj: Agama Untuk Kemajuan Umat

Kepada agamawan Kiai Ma’ruf selalu berpesan, agar setiap perbedaan disikapi dengan dewasa. Masing-masing boleh berdakwah asal tidak sampai berbenturan. Dalam berdakwah boleh mengajak tetapi jangan menghantam orang lain karena akan menimbulkan konflik dan melahirkan sikap intoleran. “Kita membangun teologi kerukunan, bukan teologi konflik. Dakwah kerukunan, bukan dakwah konflik. Negara kita ini majemuk jadi harus dikelola hati-hati.  Handari konflik,” kata Kiai Ma’ruf. Sikap toleran itu sangat diperlukan untuk kestabilan sosial-politik Indonesia.

Dalam masalah kestabilan negara, Kiai Ma’ruf punya teori tentang tiga pilar penyangga negara, yakni Islam, Nasionalis, dan TNI-Polri. Islam direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah, nasionalis direpresentasikan PDI-P, TNI-Polri merepresentasikan keamanan negara yang harus menjaga netralitas. Dalam tiga tiang penyangga ini, tidak boleh ada konflik. Jika terjadi gangguan pada tiang penyangga, terancam terjadi konflik yang membahayakan kesatuan negara.

Demi menjaga toleransi dan kebhinekaan itu pula Kiai Ma’ruf mendukung penerbitan Perpu (Peraturan Pemerintah) No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan. Perpu yang diikuti pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sembilan hari kemudian itu juga didukung penuh. Karena menurut Kiai Ma’ruf, HTI yang memiliki anggota sekitar dua juta orang itu telah melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan Pancasila.

Tidak hanya HTI, tetapi jika ada ormas lain yang mengganggu kebhinekaan dan bertentangan dengan Pancasila, Kiai Ma’ruf juga akan mendukung pembubarannya. Meski begitu, pemerintah juga perlu diingatkan agar jangan sembarangan menggunakan Perpu, jangan sampai Perpu dijadikan alat untuk membubarkan ormas yang kritis terhadap pemerintah. Garis demarkasi dibubarkan atau tidak adalah pelanggaran terhadap kebhinekaan dan Pancasila.

Sikap dan cara berpikir moderat Kia Ma’ruf itu mensinergikan antara aspek keislaman dan aspek kebangsaan. Di satu sisi Islam tetap menjadi referensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena pada dasarnya setiap umat beragama dalam bertingkah laku dan berpikir dasarnya adalah agama. Tetapi di sisi lain toleran terhadap keragaman dan perbedaan, baik dalam konteks agama maupun dalam konteks suku ras, golongan, bahkan pilihan politik, dalam konteks ini Kiai Ma’ruf menjadi sosok moderat yang bisa diterima banyak kalangan.

Ia menjadi penting untuk bangsa ini karena era reformasi dan demokrasi membutuhkan sosok moderat sebagai pengayom banyak pihak. Kiai Ma’ruf memberikan ruang itu, sehingga Indonesia tidak mengalami konflik dan perpecahan seperti Arab Spring atau Amerika Latin yang tak mampu membangun adaptasi. Kiai Ma’ruf menjadi figur sebagai ulama yang mampu mendamaikan demokrasi dan nilai-nilai Islam.

Artikel Populer
Artikel Terkait

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.