Membangun Solidaritas Sosial

KhazanahKhutbah Jum'atMembangun Solidaritas Sosial

الحمد للّه فائض الأنوار، وفاتح الأبصار، وكاشف الأسرار، ورافع الأستار. والصلاة على محمّد نور الأنوار، وسيّد الأبرار، وحبيب الجبّار، وبشير الغفّار، ونذير القهّار، وفاضح الفجّار، وعلى آله وأصحابه الطّيّبين الطّاهرين الأخيار. اللّهمّ صلّ على عبدك ورسولك محمّد وآله وأصحابه الّذين آزروه ونصروه وسلّم تسليما كثيرا. يآأيها الّذين آمنوا اتّقوا اللّه حقّ تقاته ولا تموتنّ إلا وأنتم مسلمون، أمّا بعد.

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhānahu Wata’ālā

Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:

أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ (1) بِٱلدِّينِ فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ (4)

Tahukah kamu, siapa yang mendustakan agama? Adalah orang yang menelantarkan anak yatim dan tidak sungguh-sungguh memecahkan persoalan pangan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang melaksanakan sembahyang, yaitu mereka yang lalai, pamer dan enggan menolong orang lain (QS. Al-Mā’ūn: 1-4)

Ayat al-Qur’an di atas menegaskan hal yang sangat penting dalam keberagaman kita, yaitu pentingnya solidaritas sosial. Dalam perspektif Islam, solidaritas sosial adalah bagian dari ajaran yang paling pokok. Mengabaikan persoalan ini sama halnya dengan mendustakan agama, sebagaimana ditegaskan secara eksplisit dalam ayat tersebut.

Dalam kitab tafsir At-Thabarī disebutkan bahwa ayat ini turun untuk menegaskan pentingnya solidaritas sosial, terutama bagi masyarakat lemah (dhu’afā) dan yang dilemahkan (mustadh’afin), seperti anak-anak yatim, kaum perempuan dan orang-orang miskin pada umumnya.

Mereka merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak sedikit dari hak-hak dasar mereka yang tidak terpenuhi, bahkan dilupakan. Seringkali mereka hanya dijadikan sebagai komoditas untuk kepentingan sesaat.

Dalam al-Qur’an kaum lemah juga disebut dengan istilah mustadh’afin. Kata ini (mustadh’afin) secara harfiah mengandung artiorang-orang yang diperlemah oleh orang lain. Istilah diperlemah mengandaikan adanya struktur yang membuat mereka menjadi lemah, baik dalam bentuk struktur sosial, struktur politik ataupun struktur-struktur kuasa lainnya.

Kondisi seperti ini menuntut adanya perhatian dan pendampingan untuk memperkuat dan memberdayakan kaum lemah. Perlu ada komitmen dan keseriusan dari kita untuk mengubah wajah kemiskinan menjadi wajah kesejahteraan. Kita harus memancarkan niat yang tulus untuk melaksanakan misi penyelamatan umat dari berbagai ancaman pemiskinan.

Namun demikian, pendekatan-pendekatan yang ada selama ini hanya bersifat personal dan karitatif. Contoh pendekatan karikatif adalah orang yang mempunyai kemampuan materi secara individual membentu mereka yang lemah dengan memberikan sembako dan atau memberi bantuan bagi pengemis-pengemis yang ada di pinggir jalan. Jika menggunakan pendekatan secara personal, maka persoalan pengemis tidak akan terselesaikan secara efektif. Semakin diberi mereka akan semakin tergantung.

Oleh karena itu, pendekatan yang bisa digunakan dalam pengentasan mustadh’afin tersebut harus bersifat sistemik. Yaitu pendekatan yang menyeluruh dan sebisa mungkin menyentuh akar persoalan kemiskinan. Orang-orang lemah tidak hanya dibantu, tetapi harus diberdayakan agar mempunyai kemampuan untuk bangkit dari persoalan yang melilit mereka.

Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian, merupakan salah satu contoh terbaik dalam rangka mengangkat harkat dan martabat orang-orang miskin. Ia menggalang para perempuan miskin agar bangkit dengan cara memberikan modal pinjaman lunak tanpa bunga.

Menurut Yunus, cara tersebut telah mampu mengubah orang-orang yang selama ini miskin menjadi berdaya, sehingga mereka pun mampu bangkit dari keterpurukan. Bahkan putera-puteri mereka dapat melanjutkan pendidikan tinggi hingga ke Eropa dan Amerika. Dengan gerakannya, Yunus telah mampu “memuseumkan kemiskinan” di Bangladesh.

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhānahu Wata’ālā

Islam mempunyai perhatian besar kepada yang lemah atau yang diperlemah oleh pihak tertentu, seperti yang disinggung pada surat Al-Mā’ūn di atas. Begitu besarnya perhatian Islam, pihak yang menelantarkan anak-anak yatim dan tidak memberi makan orang-orang miskin disebut AL-Qur’an sebagai orang-orang yang mendustai agama. Maukah kita disebut sebagai orang yang mendustai agama?

Maka dari itu, penyimpangan dari agama bukan saja hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan, melainkan justru yang berkaitan dengan pembiaran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ketidakadilan, yaitu nasib orang-orang fakir-miskin. Masalah akidah hanya Allah subhānahu wata’āla yang Maha Tahu atas hamba-hamba-Nya yang tersesat dan mereka yang mendapatkan petunjuk. Adapun yang berkaitan dengan nasib orang-orang miskin mutlak merupakan tanggungjawab kita bersama.

Dalam hal ini, kita perlu menumbuhkan solidaritas sosial yang ditandai dengan komitmen untuk membantu dan menyelamatkan mereka. Semua itu harus dilakukan agar kita tidak dicap Tuhan sebagai orang-orang yang telah mendustai agama.

Untuk itu, Rasulullah Saw. memberikan teladan yang sangat baik bagi kita semua, yaitu agar menjadikan kepedulian terhadap orang-orang miskin sebagai bagian penting dalam kehidupan ini. Beliau bersabda:

Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku pada Hari Kiamat nanti bersama orang-orang miskin. Kemudian Aisyah bertanya, “kenapa demikian wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, karena mereka akan masuk surga sebelum orang-orang kaya kira-kira sekitar 40 kali musim gugur. Wahai Aisyah, jangan Engkau menolak (tidak membantu) orang miskin (bantulah dia) walau hanya dengan separuh kurma. Wahai Aisyah cintailah orang miskin, dekati mereka, maka niscaya Allah akan mendekatimu pada hari kiamat nanti.

Hadis di atas menunjukkan, bahwa keberpihakan terhadap orang-orang miskin harus menjadi keyakinan yang paling utama, yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Siapa pun yang melihat orang-orang miskin hatinya akan otomatis tergerak untuk mengulurkan tangan. Sebab, hal tersebut merupakan perangai agung dari baginda Rasulullah Saw. yang keseluruhan hidupnya diperuntukkan untuk membantu orang-orang miskin. Bahkan, beliau rela untuk tidak makan beberapa hari, sehingga umatnya mendapatkan makanan.

Baca Juga  Belajar Toleransi di Bulan Ramadhan

Di sini, solidaritas sosial harus dicontoh oleh para pemimpin agar kepentingan rakyat yang dipimpin didahulukan daripada kepentingan diri sendiri. Solidaritas sosial harus ditunjukkan oleh para pemimpin, karena mereka mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk melakukan penyelamatan. Solidaritas sosial yang dilakukan oleh pemimpin akan memberikan dampak yang lebih luas dibandingakan solidaritas yang dilakukan oleh perseorangan.

Apabila dalam konteks berbangsa dan bernegara, yang mana di dalam konstitusi sudah terang benderang, bahwa fakir-miskin dilindungi negara. Secara otomatis, para pemimpin mempunyai tanggungjawab yang cukup besar untuk membantu mereka. Jika tidak, maka mereka sebenarnya tidak menjalankan amanat konstitusi. Lebih dari itu, mengacu pada surat Al-Mā’ūn tadi, mereka bisa disebut sebagai orang-orang yang mendustai agama.

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhānahu Wata’ālā

Pada hakikatnya, persoalan solidaritas sosial menyangkut persoalan budaya. Lemahnya solidaritas sosial semata-mata karena kita belum mampu membangun budaya yang mampu menopang kebersamaan dan kepedulian terhadap mereka yang lemah. Apalagi di tengah gempuran budaya konsumerisme, yang mana kita cenderung mementingkan diri sendiri daripada orang lain.

Maka dari itu, menjadikan nilai-nilai keislaman sebagai inspirasi untuk membangun solidaritas sosial sangatlah mendesak untuk dilakukan, terutama dalam rangka menjadikan Islam sebagai agama yang membebaskan dari berbagai belenggu ketidakadilan sosial.

Dalam hal itu, salah satu ajaran yang sangat sederhana, tetapi muatannya sangat berdampak bagi kehidupan sosial, yaitu perintah Nabi Muhammad Saw. soal pentingnya memberi. Beliau bersabda:

Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.

Hadis tersebut hendak memberikan penjelasan bahwa akhlak dan budaya seorang Muslim adalah memberi, bukan meminta. Sebab, memberi lebih mulia dan lebih diutamakan daripada meminta. Ini berarti, menjadi seorang muslim bukanlah meminta-minta, melainkan justru sebisa mungkin menolong orang lain, sehingga terwujud keseimbangan dalam hidup ini.

Bahkan dalam hadis lain disebutkan, solidaritas sosial merupakan jantung keimanan itu sendiri. Seseorang akan dianggap beriman kepada Allah SWT dan hari kahir manakala ia memuliakan tetangga dan para tamunya.

Hadis tersebut hendak menjelaskan bahwa solidaritas sosial harus dimulai dari lingkungan terdekat, baik mereka yang dikenal maupun tidak dikenal. Sebab, sebagai seorang muslim yang mempunyai komitmen tinggi untuk menegakkan nilai-nilai keislaman, kita dituntut menjadikan solidaritas sosial sebagai perangai yang harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Islam bukanlah ajaran yang melangit, akan tetapi ajaran yang harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata.

Dalam hal ini, budaya kesukarelaan dan kedermawanan harus menjadi basis dalam relasi sosial. Sebab selalu ada kemudahan, jika di antara kita saling tolong menolong dan gotong-royong. Bung Karno berpesan, “Marilah kita jadikan gotong-royong sebagai semangat untuk membangun bangsa ini dan mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya”.   

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhānahu Wata’ālā

Solidaritas sosial merupakan jantung dari toleransi. Sebab toleransi tidak akan bermakna apa-apa, jika di dalamnya tidak ada spirit “memberi” dan “melayani”, yang mana keduanya merupakan hakikat dari ajaran Islam.

Ketika kita membentu seseorang, hal tersebut semata-mata bukan karena pihak yang dibantu merupakan saudara dan keluarga kita, tetapi karena semata-mata mereka adalah manusia ciptaan Allah yang harus dilindungi dan diberi pertolongan semampunya. Betapa indahnya kehidupan ini jika solidaritas sosial menjadi titik-tolak dalam membangun keharmonisan.

Dengan demikian, solidaritas sosial harus menjadi pijakan kita dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Para Nabi terdahulu telah membuktikan betapa mereka menjadikan solidaritas sosial sebagai bagian terpenting dalam agama mereka. Dan tugas kita saat ini, yaitu menjadikan ajaran tersebut sebagai tali pengikat yang akan menjadikan kita sebagai umat yang benar-benar mempunyai komitmen untuk membela mereka yang lemah. Sebab, sekali lagi, kita tidak mau dan tidak akan mau disebut sebagai orang-orang yang mendustai agama.

Di akhir khutbah ini, ada baiknya saya mengutip hadis Rasulullah Saw.:

Orang-orang yang menebar kasih sayang atau solidarits sosial niscaya akan sidayang Tuhan. Maka hendaklah kalian mengasihi mereka yang dihidup di muka bumi, niscaya kalian dikasihi mereka yang berada di atas langit.

بارك اللّه لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإيّاكم بما فيه من الآيات والذّكر الحكيم وتقبّل منّي ومنكم تلاوته إنّه هو السّميع العليم.

 

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.