Pesantren, Basis Kebangsaan Kita

KolomPesantren, Basis Kebangsaan Kita

Dalam sejarah kemerdekaan baik pra maupun pasca, pesantren berperan besar terhadap perjuangan bangsa. Bukan saja sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren telah teruji sebagai lembaga yang turut membentuk watak dan kepribadian bangsa. Clifford Geertz dalam Ritual and Social Change (1957) menggambarkan pesantren sebagai representasi Islam yang mengakar pada kebudayaan lokal. Di dalamnya tidak hanya terdapat sarana dan praktek pendidikan, melainkan sejumlah sistem nilai. Nilai-nilai itu merupakan hasil dialektika dinamis antara nilai-nilai keagamaan yang bersumber pada teks dan ketokohan kyai-nya, yang berinteraksi dengan realitas sosio-kultural dan politik.

Secara historis, pesantren adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan bangsa. Sebab, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua menjadi basis lahirnya tokoh-tokoh pejuang kebangsaan kemudian. Dan bahkan sampai saat ini. Diakui atau tidak,  masih lestarinya kebudayaan lokal, tidak terlepas daripada campur tangan pesantren. Karena dalam pesantren, diajarkan kurikulum pengejawantahan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom). Maka dari itu, keliru jika menempatkan pesantren hanya sekadar menjadi ikon pendidikan agama belaka.

Lebih dari itu, Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (2018) bahkan mengatakan, pesantren merupakan sistem pendidikan yang paling bisa menggambarkan konsepsi masyarakat tradisional dalam mempersiapkan pemuda penerus bangsa. Yang dalam kaitan ini, tentu revolusi kemerdekaan. Ben Anderson, melihat betul bagaimana peran pesantren begitu besar dalam menempa pemuda yang memiliki semangat dan juang revolusi.

Hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai yang diajarkan dalam pesantren. Samudja Asjari dalam Kedudukan Kiai dalam Pondok Pesantren (1967) mengemukakan, sedikitnya ada empat nilai yang ditempa dalam pesantren: yakni, kesederhanaan, semangat kerja sama, solideritas, dan keikhlasan. Dalam konteks ini, dapat kita lihat bagaimana pesantren menciptakan satu tatanan baru dalam budaya sosio-kultural kita. Yakni, menghilangkan kelas-kelas dalam bermasyarakat serta menutupnya dengan semangat persatuan, kerja sama, dan juga solideritas.

Baca Juga  Islam Nusantara Kebanggaan Masyarakat Global

Maka dari itu, tidak heran jika dalam satu kasus, tatkala beberapa kelompok Islam menginginkan dasar falsafah bangsa sesuai syariat Islam, justru dari pihak pesantren menolaknya. Penolakan ini tentu, bukan didasari oleh ketidakpahaman para kiai tentang kenegaraan. Jauh dari itu, para kiai tahu betul karakteristik dan budaya bangsa kita, yaitu keberagaman.

Pesantren sudah lama dikenal sebagai sendi keagamaan dan kebangsaan. Dalam kontek keagamaan, pesantren adalah lembaga pendidikan yang mampu menjembatani generasi pendahulu Islam dan generasi muda sekarang. Tanpa keberadaannya dapat dipastikan, konteks dan warna Islam Indonesia tidak akan menemukan bentuknya seperti saat sekarang ini. Terlepas, bentuk dan rupa pendidikan pesantren saat ini sudah mengalami berbagai perubahan, tetapi konsistensi pesantren dalam melahirkan generasi-generasi bangsa serta semangat kebangsaan patut diapresiasi.

Kiprah pesantren dalam merebut kemerdekaan dan memberi kesadaran kebangsaan sangat besar. Ernest Douwes Dekker (1879-1950) mengatakan, jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh sejarahnya sehingga mencapai kemerdekaan. Penting ditegaskan di sini, bahwa kiprah pesantren dan umat Islam cukup besar karena para tokoh pergerakan nasional tidak dapat dilepaskan dari dunia pesantren dan spirit Islam.

Pondok pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan senjata penjajah, tetapi juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat mental atau pun moral. Kegagalan Snouck Hurgronje dalam upaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan budaya Belanda tidak terlepas dari campur tangan pesantren di belakangnya. Hal ini karena tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan budaya Barat, dalam hal ini budaya Belanda sang penjajah. Karena di dalam pesantren, santri tidak saja dididik menjadi generasi yang beragama, tetapi juga berkebangsaan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.