Pemuda-Pemudi Peduli Perdamaian

BeritaPemuda-Pemudi Peduli Perdamaian

“Anak muda” menjadi subyek yang tengah populer bergulir dalam banyak konteks akhir-akhir ini. Terdekat, momentum Sumpah Pemuda akhir Oktober lalu tentu menjadi monumen pengingat perjuangan pemuda di era pergerakan nasional, yang kini dirayakan dalam aneka rupa agenda untuk mengakomodir energi generasi muda. Dalam lanskap yang lebih jauh ke belakang, “anak muda” menjadi tata nama yang hilir mudik dalam kerangka kontestasi politik. Partai-partai politik telah sejak dini adu tunjuk calon-calon mudanya untuk berkompetisi dalam gelanggang legislatif. Adalah kabar baik, ketika anak muda diberi ruang dan kepercayaan untuk ambil bagian dalam politik. Hanya saja, semoga muda-mudi itu bukan semata instrumen yang dikooptasi ‘generasi tua’ untuk sekadar mendulang suara, mengingat Pemilu dan Pileg 2024 mendatang didominasi oleh pemilih muda.

Alinea di atas adalah sebatas sisipan untuk meredakan gelombang di pikiran penulis berkenaan dengan pemuda. Pengantar tersebut mungkin ‘terlalu jauh’ untuk masuk ke jantung gagasan yang ingin penulis ungkapkan dalam tulisan ini, mengenai aksi dan keberpihakan generasi muda pada perdamaian. Kurang lebih lima hari keberadaan penulis di Aceh pada 13-18 Oktober 2023 lalu, menjadi perjalanan yang penting untuk direfleksi dan dibagi. Pada tanggal tersebut, kota Aceh khususnya UIN Ar-Raniry, menjadi tuan rumah untuk acara International Conference & AMAN (Asian Muslim Action Network) Assembly yang mengangkat tema Religious Inclusion and Peacebuilding in the World: The Perspective of Muslims, yang dihadiri oleh lebihdari 350 partisipan tidak kurang dari 20 negara. Bukan hanya generasi senior, tapi anak-anak muda pun terlibat dan diberi ruang dalam agenda tersebut. Dalam forum ini penulis berkesempatan hadir sebagai peserta.

Secara garis besar konferensi ini bertujuan mengarusutamakan sikap inklusif dalam beragama, keadilan gender, hingga penciptaan perdamaian. Menjadi wadah pertemuan berbagai pihak untuk terus peduli merawat toleransi, merangkul keragaman, dan mendorong dialog guna membentuk masyarakat yang saling menghormati, menjaga kebebasan beragama, serta sensitif gender. Pernyataan penting dan berkesan bagi penulis yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal AMAN kala itu, Dwi Rubiyanti Kholifah, adalah bahwa konferensi tersebut tidak hanya menghadirkan akademisi dalam bidangnya masing-masing tapi juga para aktivis yang aktif bergerilya di lapangan. Mengakomodir dua kalangan ini menunjukkan bahwa antara ilmu pengetahuan serta implementasi aksi merupakan dua hal yang harus saling menopang dan mesti bersifat kolaboratif.

Dari sekian sesi yang digelar, pada Plenary sesi keempat, sepuluh pemuda-pemudi dari berbagai negara di Asia difasilitasi untuk menyampaikan aspirasi, pesan solidaritas, dan motivasi mereka dalam melakukan perubahan sosial yang berbasis anti kekerasan. Para pemuda tersebut mengaktualkan kepedulian mereka tentang perdamaian dan pluralisme beragama melalui kerja-kerja nyata anti kekerasan di negerinya masing-masing. Perjuangan perdamaian itu diartikulasikan menjadi berbagai wadah dan gerakan. Pada Senin (16/10/2023) amanindonesia.org mengulas pesan dan aspirasi para pemuda tadi dalam rilisnya yang berjudul Bagaimana Pemuda Merefleksikan Damai dan Mempromosikan Religius Inklusi.

Sebagian dari cerita itu misalnya, Khalida Zia, seorang Aceh sekaligus pembicara pertama di sesi Plenary tersebut mengisahkan tentang upaya dia bersama rekan-rekannya di The Leader dalam membuat program “Aku Berani Cerita”. Gerakan ini dilatari oleh keprihatinannya saat seorang temannya yang pergi meninggalkan Aceh lantaran mengalami diskriminasi sebab ia berbeda dan seorang minoritas. Bersama rekan-rekaannya Zia berjuang melawan kekerasan seksual, rasisme, diskriminasi, dan memperjuangkan inklusi beragama. Mengupayakan agar Aceh menjadi rumah yang aman bagi seluruh penghuninya.

Uraian Muhammad Ayatullah Rahaman menggambarkan bagaimana Non Violent Civil Resistance (Perlawanan Sipil Tanpa Kekerasan) menjadi ruang gerak yang nyaman bagi anak muda. Pembicara kedua yang berasal dari Nepal ini bergerak dalam pemberdayaan anak muda melalui wadah Nepal Unites Movement. Gerakan itu bersifat inklusif, tidak membedakan suku, gender, etnis, hingga orientasi seksual. Muhammad menekankan urgensi teknologi dalam pembangunan perdamaian, sebab bisa sangat membantu untuk berjejarang dan berkolaborasi dalam skala yang luas, dapat menjadi medium kampanye perdamaian yang cepat dan masif.

Baca Juga  Gus Mis: Politik NU Politik Kemaslahatan

Lebih spesifik tentang isu perempuan, Haya Hareem (Rehana Majeed) selaku pembicara keempat, menyuarakan persoalan yang dihadapi perempuan Pakistan yang berkaitan dengan cara berpikir, di mana perempuan setempat tidak boleh melakukan aktivitas sosial dan hanya boleh belajar sebatas kurikulum keagamaan. Rehana membentuk Al Hareem Centre bersama 4 perempuan lain sekitar lima tahun lalu, dan kini telah berkembang menjadi 2000 perempuan. Mereka bergerak memberdayakan perempuan, mendorong perempuan untuk berpendidikan tinggi, juga menyediakan pelatihan mengenai bagaimana lahirnya fatwa.

Ketujuh pembicara lain pun melakukan aktivisme yang tak kalah inspiratif. Secara ringkas penulis uraikan, pembicara ketiga adalah Redi Saputro dari Peace Leader, yang sejak 2014 telah aktif bekerja di akar rumput mempromosikan nilai-nilai toleransi, kesetaraan gender, serta anti kekerasan di kalangan muda khususnya. Nadi Moe Htet selaku pembicara kelima menceritakan Saroong Movement di Myanmar sebagai gerakan anti kekerasan untuk menggerakkan perubahan sekaligus protes anti-kudeta di Myanmar. Pembicara keenam adalah Sageer dari Asian Humanity Foundation yang menuturkan program lembaganya dalam pembangunan perdamaian di India Utara. Di urutan ketujuh ialah Fairoz Humayra Tanzim dari Bangladesh yang menaruh perhatian pada perkembangan teknologi digital sebagai medium yang sangat berguna untuk berjejaring dan menyuarakan pendapat. Ia juga menekankan bahwa gerakan pemuda merupakan katalis perubahan sosial. Dan bahwa Non Violent Civil Resistance adalah simbol dari kekuatan serta keinginan untuk tidak bergulat, alih-alih simbol kelemahan.

Yasmin Tohmeena, seorang perempuan Thailand, menjadi pembicara kedelapan. Bersama dengan rekan-rekannya ia menggarap gerakan Peacebuilding in Pattani dalam format kegiatan “lari bersama sejauh 4 km”. Aksi ini adalah wujud protes terhadap oposisi berbasis anti-kekerasan. Aliyul Himam adalah mahasiswa sekaligus ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry, turut bersuara mengingatkan agar pemulihan pasca konflik di Aceh terkait sejumlah kasus pelanggaran HAM terus dikawal dan harus dituntaskan. Ia mengajak generasi muda Aceh untuk senantiasa peduli pada perdamaian di Aceh. Pesan solidaritas itu ditutup oleh Latifanny Yulanar yang juga mahasiswi UIN Ar-Raniry. Angkatan muda Aceh ini menggarisbawahi pentingnya pembangunan perdamaian di Aceh agar tidak terbatas pada masa konflik semata, tapi juga untuk konteks pencegahan terulangnya konflik hingga untuk konteks pemulihan pasca konflik.

Bagi penulis, Aceh dengan segala memoar konflik, tragedi tsunami, karakteristik khas masyarakat dan otonomi istimewanya dalam bentuk Qanun Syariat Aceh, menjadikannya tempat yang sangat representatif bagi tema besar konferensi ini. Sajian sejarah dan fenomena sosialnya memperkaya suasana batin dari konferensi itu sendiri. Penulis ingat, dua orang mahasiswa dan mahasiswi yang hendak berduet menyanyi dalam acara penutupan, berseloroh bahwa Aceh ‘tidak se-syar’i itu’ sembari tersenyum. Ia mencoba menepis anggapan kebanyakan orang luar Aceh bahwa kehidupan sosial di sana sangat dikekang dan dibatasi—sebab adanya Qanun Syariat—, hingga perkara bernyanyi di muka umum pun ada yang menduganya dilarang.

Kota Aceh berisi daftar panjang pelajaran mengenai resiliensi pasca bencana, kultur yang dijaga, perjuangan pemulihan pasca konflik sosial-politik, hingga keberanian untuk memilih lokalitas hukumnya—terlepas dari segala persoalan dalam implementasi Qanun di sana. Bagi penulis pribadi, forum konferensi ini merupakan ladang basah inspirasi, wahana berjejaring dan bertukar cerita yang mengencangkan semangat dan keberanian untuk turut ambil bagian dalam aktivisme perdamaian dan inklusi beragama. Menengok figur-figur muda—bahkan ada yang masih berusia belasan tahun—yang berorasi di atas mimbar podium adalah fase kontemplatif untuk mengoreksi diri sendiri dan menanamkan keyakinan agar bergerak segera. Tan Malaka menitipkan pesan, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda”. Di mana idealisme sendiri menuntut praktik kesetiaan pada nilai-nilai luhur dan cinta kemanusiaan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.