NU Benteng Moderasi Islam

KolomNU Benteng Moderasi Islam

Gerakan kelompok Islam fundamentalis, radikalis, dan ekstremis tumbuh subur dewasa ini. Hal ini tentu menjadi ancaman yang berbahaya bagi negeri ini yang di kenal moderat dan toleran. Salah satu organisasi yang mengusung Islam moderat adalah Nahdlatul Ulama (NU). NU dikenal sebagai organisasi yang menjadi benteng moderasi Islam. Komitmen moderat tersebut, telah ada sejak NU pertama kali didirikan. Apakah benar demikian?

Di tengah riuh rendahnya gerakan keagamaan yang muncul di Tanah Air, Islam fundamentalis, Islam radikalis, dan Islam ekstremis cukup berhasil mengembangkan sayap agendanya. Kelompok ini secara perlahan berhasil merebut simpati khalayak di tengah kebingungan umat memaknai perubahan sosial, politik, dan budaya. Seruan kembali kepada Islam berhasil menyihir umat yang selama ini rindu spiritualitas.

Perkembangan Islam di kampus-kampus umum kerap menjadi salah satu bukti betapa berpengaruhnya kelompok Islam fundamentalis dan radikalis terhadap generasi muda Muslim yang tengah mencari identitas dan jati diri. Sasaran ini dibidik secara baik oleh mereka sebagai rencana strategis yang diharapkan dapat menjadi generasi andalan bagi Islam yang mereka cita-citakan. Setidaknya, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dari kelompok Islam fundamentalis dan radikalis ini, yaitu ideologi gerakan jihad dan pemberlakuan syariat Islam atau pendirian Khilafah Islamiyah.

Lantas, sejauh mana gerakan Islam fundamentalis dan radikalis di Indonesia patut diperhatikan oleh sebagian kalangan dianggap sebagai ancaman bagi Indonesia yang dikenal sebagai negeri yang moderat dan toleran? Dan bagaimana NU sebagai organisasi yang memiliki konsistensi dalam menjaga dan merawat moderasi Islam menyikapi gerakan Islam fundamentalis dan radikalis ini?

Sebagaimana diketahui, bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia kerap menjadi arena pertarungan ideologi-ideologi besar dunia. Tak hanya ideologi-ideologi sekuler, tetapi juga ideologi bernuasa Islam, termasuk ideologi-ideologi yang diusung oleh kelompok radikal seperti Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir Indonesia. HTI misalnya, yang mengusung ideologi khilafah. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi eksistensi NKRI. Sebab, HTI bisa saja merongrong kedaulatan negara yang telah final menetapkan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara.

Dalam konteks demikian, komitmen NU terhadap keindonesiaan dan kebangsaan tak perlu dipertanyakan lagi. Sejak awal berdirinya negara ini, NU dengan Aswajanya telah menjadi bagian dari khazanah kebudayaan bangsa. Hal ini tak lepas dari sifat dasar nasionalisme Indonesia yang bercorak perenilais (menghargai nilai-nilai kebenaran masa lalu) yang damai dan ramah. Persepektis modernis menempatkan kebangsaan lahir bersama negara modern. Dalam konteks ini, maka bangsa Indonesia lahir ketika Republik Indonesia berdiri, sedangkan persepktif perenialis, menempatkan kebangsaan sebagai keberlanjutan kultural dari kebudayaan masa lalu (Abdul Aziz, 2018: 5).

Pada titik ini, Islam Aswaja yang dipertahankan dan dikembangkan oleh NU hingga kini, merupakan bagian integral dari peradaban masa lalu Nusantara. Atas dasar inilah, Islam Aswaja NU menjadi dasar kultural bagi Nasionalisme, sekaligus rahim bagi kebudayaan Indonesia kini dan mendatang.

Secara kultural, Islam Aswaja NU telah melahirkan pandangan keagamaan yang moderat. Dengan modal seperti ini, maka kebudayaan Indonesia yang dibangun ke depan adalah kebudayaan yang damai, toleran, pluralis, dan kosmopolit, tetapi religus. Di dalam kebudayaan semacam inilah, cita-cita NU dalam mengembangkan Islam moderat dapat diraih.

Dalam sejarahnya, ketika Indonesia lahir, moderasi Islam model NU ini bertemu dan selaras dengan elemen-elemen modernitas, khususnya bangunan negara-bangsa (nation state) dalam wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penerimaan Islam terhadap nasionalisme, konsep negara-bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45, hingga penerapan demokrasi telah menggambarkan betapa moderatnya NU.

Baca Juga  Warisan Intelektual Prof. Huzaemah Bagi Perempuan

Bahkan, penerimaan NU terhadap Pancasila dikukuhkan secara resmi pada Muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur tahun 1984. Dalam forum tertinggi NU ini, dua keputusan besar dikeluarkan, yaitu NU menerima Pancasila sebagai azas tunggal, dan NU kembali ke khittah 1926.

Hal demikian tentu berbeda dengan kelompok-kelompok fundamentalis-radikalis, seperti HTI yang menolak dengan tegas terhadap Pancasila. Bahkan, HTI menyatakan negara Pancasila sebagai negara thagut dan kafir, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kelompok-kelompok radikal sebagaimana penulis sebutkan di atas, secara eksplisit menafikan kebudayaan masa lalu yang sangat plural dan majemuk, yang hidup berdampingan di Nusantara. Sementara NU, dengan tegas menerima pluralitas agama yang telah ada sejak dulu, melalui penerimaannya terhadap Pancasila.

Dalam menghadapi kelompok Islam fundamentalis-radikalis, NU memiliki cara-cara tersendiri. NU lebih menekankan pendekatan dakwah yang inklusif dan moderat. NU secara konsisten melakukan dakwah di masyarakat bil lisan (ceramah), di samping pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan, khususnya madrasah yang juga berfungsi sebagai media dakwah. Dalam menghadapi tradisi dan budaya lokal, dakwah NU bersikap akomodatif dan adaptif, sehingga terhindar dari konfrontasi dengan tradisi dan budaya setempat.

Hal ini tak luput dari ideologi Aswaja yang diusung NU. NU memiliki doktrin tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran) dalam pandangan dan sikap keagamaan. Sementara itu, basis sosial NU, pesantren, sejak awal mendakwahkan Islam yang ramah dan akomodatif terhadap tradisi lokal dan budaya Nusantara. Bahkan, dalam bermasyarakat, NU memiliki sikap atau doktrin yang lebih terperinci, yaitu tawassuthtasamuhtawazun‘adalah, dan amar ma’ruf nahi munkar (Khittah NU, 1985: 15-16).

Oleh karena itu, hampir tidak pernah kita mendengar di antara para ulama NU yang memiliki kecenderungan pemikiran keagamaan yang berbeda, mereka saling mengafirkan atau mengatakan sesat. Mereka cukup memahami dinamika yang berkembang di kalangan NU sendiri dan saling toleransi. Hal ini karena mereka lebih mengedepankan toleransi sebagai cerminan keagamaan yang moderat. Sikap moderat ini pun terus dilestarikan NU karena dianggap pilihan sikap yang paling tepat menghadapi masyarakat yang majemuk dan plural.

Berdasarkan poin-poin di atas, kiranya tidak berlebihan jika kita mengatakan NU sebagai benteng moderasi Islam di negeri ini. NU sebagai organisasi Islam terbesar, secara nyata dan konsisten, terus membumikan Islam moderat sejak awal berdirinya. Selama komitmen NU untuk menjaga moderasi Islam di Indonesia tetap berlanjut, maka gerakan keagamaan Islam fundamentalis, radikalis, dan ekstremis akan dapat dibendung dan dieliminir.

Dengan demikian, gerakan Islam fundamentalis, radikalis, dan ekstremis harus dilawan dan dicegah. Tindakan mereka yang kerap meresahkan umat melalui aksi-aksi radikal dan ekstrem, bahkan terkadang aksinya diwarnai dengan tindak kekerasan, harus dilawan oleh kelompok-kelompok moderat. Karenanya, NU sebagai salah satu organisasi yang moderat yang menjadi benteng moderasi Islam, harus menunjukkan kontribusinya, sehingga Indonesia yang dikenal sebagai penganut agama yang moderat dan toleran, kembali menemukan momentumnya.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.