Nabi Muhammad SAW Melampaui Toleransi

KhazanahHikmahNabi Muhammad SAW Melampaui Toleransi

‘Perjanjian’ Nabi Muhammad dengan kelompok-kelompok kristen acap kali ditengarai sebagai implementasi pengembangan toleransi, bukan pluralisme. Padahal, jika membaca dan memahami hadis tentang perjanjian tersebut secara utuh, Nabi SAW justru terlibat aktif dalam keragaman atau mendukung pluralitas keagamaan yang melampaui toleransi itu sendiri.

Pluralisme keagamaan diyakini sebagai sesuatu yang bukan sekadar keragaman. Menurut Diana L. Eck, pluralisme keagamaan mendorong adanya interaksi sosial yang murni (genuine) dan terbangunnya hubungan-hubungan yang autentik. Sebaliknya, toleransi membiarkan orang-orang dan sejumlah kelompok untuk tetap berada di tempat terpisah mereka dengan sedikit interaksi antarbudaya.

Toleransi memungkinkan Saya tetap menjadi Saya dan memungkinkan Anda tetap menjadi Anda, yakni memungkinkan kita tetap menjadi diri kita masing-masing, tetapi hanya sedikit mengajarkan kepada masyarakat bahwa kedamaian dan kesejahteraan kita terikat satu sama lain.

Selanjutnya, dialog lintas agama dan lintas madzhab diserukan pluralisme keagamaan, sebab salah satu elemennya yaitu berusaha untuk memahami keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik keagamaan masyarakat dari kebiasaan (tradisi) keagamaan yang lain. Sebaliknya, toleransi justru cenderung melahirkan kembali pola-pola perpecahan, sebab ia tak menutup celah antarkomunitas keagamaan. Eck menyatakan, toleransi adalah fondasi yang terlalu tipis untuk dunia dengan perbedaan dan kedekatan agama.

Tidak hanya mensyaratkan memberi-menerima, menurut Eck, pluralisme keagamaan juga mewajibkan kritisme sekaligus interaksi antara satu sama lain untuk menemukan pemahaman-pemahaman yang sama dan mengenali perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok, seperti Muslim dan Kristen. Maka dari itu, pluralisme keagamaan jelas melampaui toleransi dan jauh sebelum teori ini muncul, prinsip-prinsip pluralisme keagamaan telah terlebih dahulu diwujudkan oleh Nabi Muhammad SAW serta terekam baik dalam hadis-hadisnya.

Dan Kami tidak mengutus Engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. [al-Anbiya (21): 107]. Allah SWT secara tegas menyatakan bahwa rahmat adalah satu-satunya alasan diutusnya Nabi Muhammad SAW dan rahmatnya tidak terbatas pada suku, agama, serta ras tertentu, tetapi untuk semua umat manusia.

Dalam ‘perjanjian’ Nabi Muhammad SAW dengan golongan Kristen, kita dapat meneladani rahmatnya yang membela hak asasi manusia jauh sebelum negara-negara Barat modern menyerukannya, yakni mencirikan sisi demokratis Nabi Muhammad SAW dengan cara melindungi hak asasi masyarakat Kristen kala itu.

Kunjungan kelompok Kristen Najran (sekarang Yaman) ke kota Madinah adalah peristiwa penting sebagai contoh interaksi lintas agama antara Nabi Muhammad SAW dan kalangan Kristen. Kunjungan ini diawali dengan dikirimnya surat kepada beberapa masyarakat Kristen dan para pemimpin mereka sekitar tahun 631 M, mengajak mereka untuk masuk Islam.

Baca Juga  Rufaidah Al-Aslamiyah Perawat Tangguh Andalan Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW mengutus Khalid ibn al-Walid dan Ali ibn Abi Thalib ke selatan Madinah, yaitu ke Bani Najran yang jaraknya sekitar 450 mil dari Madinah. Namun mereka tidak menerima ajakan Nabi SAW. Kali kedua, al-Mughirah ibn Syu’bah dikirim oleh Nabi SAW untuk mengundang Bani Najran mengunjungi Madinah. Dalam bukunya, al-Sirjani (2011) menyebutkan bahwa Kristen Najran kemudian mengirim 60 orang delegasi, 45 di antaranya sarjana Kristen.

Setiba di Madinah, Nabi Muhammad SAW kembali mengajak Kristen Najran untuk memeluk Islam, tetapi mereka menolaknya. Lantas kemudian, berlangsung dialog antara golongan Muslim dan Kristen secara terbuka mendiskusikan perihal pemerintahan, politik, dan agama. Dalam interaksi tersebut, mereka bersepakat pada banyak persoalan, tetapi dalam persoalan teologi, mereka tidak sepakat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang terjalin di antara keduanya adalah sikap saling menghormati.

Setelah melakukan perbincangan, kalangan Najran menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa sudah waktunya bagi mereka untuk menunaikan ibadahnya. Mereka bergegas berjalan keluar untuk bersembahyang di jalan Madinah. Namun, Nabi SAW justru mengizinkan mereka untuk menggunakan masjid sebagai tempat mereka sembahyang. Bahkan, Nabi SAW juga memberi tempat menginap mereka di dekat rumahnya, termasuk memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan tenda untuk mereka. Hari itu, hubungan baik terbangun dan kedamaian berjaya di antara keduanya.

Sebelum delegasi Najran meninggalkan Madinah, mereka telah membuat perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW. Tertulis dalam perjanjian tersebut bahwa Nabi SAW akan melindungi jiwa, harta benda, dan hak asasi mereka seperti kebebasan hati nurani dan kebebasan beragama.

Mengingat kembali prinsip-prinsip pluralisme yang dijabarkan Eck, pertemuan antara kalangan Muslim Madinah dan kalangan Najran memenuhi karakteristik pluralisme beragama. Baik dalam keterlibatannya dengan keragaman, pemahaman mengenai tradisi-tradisi keagamaan, maupun dialog lintas agama.

Oleh karena itu, mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sekadar menoleransi umat Kristen rasanya terlalu menyepelekan. Toleransi adalah tidak berbuat dzalim pada komunitas keagamaan lain, sementara Nabi Muhammad SAW bahkan merangkul perbedaan yang ada pada Kristen Najran. Dari sini dapat dipahami bahwa perilaku Nabi SAW tak lain merupakan manifestasi pluralitas keagamaan yang melampaui toleransi.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.