Gus Dur Ajari Cara Beragama Yang Baik

KolomGus Dur Ajari Cara Beragama Yang Baik

Gairah beragama era ini semakin tak terelakan. Saking bergairahnya, ada kelompok yang merasa paling beragama diantara yang lain. Menghadapi keadaan ini, kita rindu akan sosok almarhum KH. Abdurahman Wahid atau yang akrab di sapa Gus Dur. Sosok yang santun, agamis, nasionalis, dan juga humoris, yang telah banyak sekali mengajarkan pada kita tentang cara beragama yang baik. Salah satu pelajaran penting yang diajarkan Gus Dur itu adalah tentang toleransi.

Bagi Gus Dur, merawat toleransi merupakan proses penting untuk menciptakan keharmonisan hubungan antar umat beragama. Toleransi itu tidak hanya untuk menciptakan, tetapi juga merawat. Gus Dur sadar betul, bahwa keharmonisan harus dijaga, karena akan sulit memulihkan bila sudah retak.

Gus Dur juga mengajari kita untuk beragama tidak dengan marah-marah, namun dengan ramah, dengan akal budi denga pikiran yang terang. Keluwesan beragama yang tercermin secara konkret dengan sikap toleransi, menjadi relevan tatkala melihat keadaan bangsa kini yang tengah digonjang-ganjing isu perbedaan. Gus Dur menekankan, bahwa orang beragama, jika tidak menggunakan nalar akal budi akan terjerumus dalam fanatisme sempit dan akan menimbulkan banyak konflik terjadi.

Dalam sebuah semboyannya, Presiden keempat RI itu mengatakan, “Indonesia bukan negara agama, tapi negara beragama.” Semboyan tersebut menggambarkan betapa Gus Dur begitu menghargai warna-warni perbedaan yang ada di negeri ini, terutama dalam hal agama. Semboyan ini selayaknya menjadi pedoman kita semua di tengah eskalasi semangat Islamisme dan toleransi.

Gus Dur mengajarikan kita semua untuk lebih mengelaborasi antara hati dan pikiran dalam memahami ajaran agama. Yaitu tentang bagaimana agar kita mampu mencapai drajat tertinggi sebagai manusia, diantaranya dengan memanusiakan manusia lainnya tanpa di batasi latar belakang apapun, termasuk suku dan agama.

Sebagai figur yang selalu konsisten membela kaum minoritas seperti kelompok Thionghoa dan Ahmadiyah, juga Syiah, membuat Gus Dur mendapat julukan sebagai bapak pluralisme. Perjuangan itu menjadi salah satu warisan yang tak ternilai bagi kita semua. Bapak guru bangsa itu tidak hanya bicara toleransi, namun ia mempraktikan langsung. Itu terlihat pasca dirinya dilantik menjadi Presiden ke empat tahun 1999, dimana dirinya dengan sengaja menghadiri perjamuan natal di Jakarta. Tak hanya hadir, Gus Dur juga menyampaikan pidato tentang perlunya bersaudara dengan orang yang berbeda agama. Menariknya, kejadian itu Gus Dur lakukan kala isu pengharaman atas perayaan natal bagi Muslim sedang merebak.

Di masa Gus Dur, kelompok minoritas seperti Konghucu benar-benar mendapat tempat di bumi nusantara. Terbukti dengan disahkannya Konghucu sebagai bagian dari agama nasional, serta menetapkan hari libur natal sebagai libur nasional pula. Dialah Presiden dan ulama yang meminta maaf atas kekerasan antikomunis pada 1965. Dia pula yang mengembalikan nama Papua, yang selama Orde Baru disebut sebagai Irian Jaya, dan tidak melarang pengibaran bendera bintang kejora milik rakyat Papua.

Baca Juga  Mengapa Surat Yasin Istimewa

Di tengah krisis keteladanan dalam beragama seperti sekarang ini, sosok seperti Gus Dur menjadi harapan banyak orang. Kehadirannya saat ini begitu dirindukan. Pandangan dan sikapnya makin relevan ketika intoleransi dan diskriminasi makin menguat.

Menurut Badan Pusat Statistik mencatat, tahun 2019 , sebanyak 20 dari 34 Provinsi mengalami penurunan kebebasan beragama. Hasil penelitian Stara Institute juga menunjukan peningkatan pelanggaran kebebasan berkeyakinan. Dalam rentan waktu November 2014 hingga Oktober 2019, telah terjadi 846 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan 1060 tindakan.

Pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan oleh beberapa aktor, baik dari aktor negara, maupun non-negara. Aktor non-negara cukup mendominasi yang mencapai 613 tindakan. Sedangkan angka pelanggaran oleh aktor negara tercatat sebanyak 447 tindakan. Aktor non-negara paling tinggi adalah kelompok warga, yakni sebanyak 171 tindakan. Lalu ormas keagamaan 86 tindakan.

Sementara itu, aktor negara dengan pelanggran kebebasan beragama dan berkeyakinan oleh pemerintah daerah sebanyak 157 tindakan. Menyusul di belakangnya, Kepolisian sebanyak 98 tindakan, dan institusi pendidikan sebanyak 35 tindakan. Korbannya pun beraneka macam, mulai dari individu yang mencapai 193 peristiwa, warga 183 peristiwa, dan umat Kristiani 136 peristiwa.

Ahmdiyah dan Syiah juga termasuk menjadi korban pelanggran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Masing-masing mencapai 554 untuk Ahmadiyah, 153 pada Syiah, juga kelompok minoritas lainnya. Pelanggaran itu didominasi oleh adanya gangguan terhadap rumah ibadah, yakni Gereja, Masjid, Vihara 15, Klenteng, dan Sinagong.

Sungguh, bila kita amati, pelaku-pelaku pelanggar itu adalah orang yang memiliki agama, meski sekedar agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun tindakan itu sangat tidak mencerminkan orang yang beragama. Oleh karenanya, penting bagi kita membuka kembali lembaran pelajaran yang telah Gus Dur ajarkan. Dengan menumbuhkan kembali sikap dan sifat pluralisme. Menumbuhkan merawat lagi sifat serta sikap toleransi.

Gus Dur menegaskan pada kita, bahwa kita mesti membedakan antara ideologi agama ke dalam kehidupan bernegara dengan moralitas agama ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama hendaknya menjadi sumber moralitas yang bermartabat, sebagai sebuah keniscayaan untuk menciptakan kedamaian. Dengan demikian, kiranya semakin meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat modern ini, maka sosok Gus Dur begitu dibutuhkan untuk mengayomi kita semua. Di Haul Gus Dur ke-11 ini pula kita tersadarkan, betapa Gus Dur telah nyata memberi pelajaran penting cara beragama yang baik.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.