Pentingnya Hubungan Ulama dan Budaya

KolomPentingnya Hubungan Ulama dan Budaya

Kita, masyarakat Muslim, diajarkan untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan agama kita dengan ulama atau guru agama yang sangat berpengalaman, saleh, dan berwawasan jauh ke dalam “bahasa kaumnya”. Kita perlu bergantung pada ulama dan ahli agama yang berdedikasi pada urusan kehidupan Muslim Indonesia modern secara spesifik, tidak hanya secara umum, bukan hanya sekadar teori. Berbudaya dan memahami konteks masyarakat merupakan persyaratan seorang ulama, tidak lain agar setiap nasehat dan fatwa agama dapat berfungsi penuh bagi masyarakat Muslim yang berkembang dengan ‘bahasa’ logika dan modernitas.

Hubungan ulama dengan budaya amat penting, semata-mata agar nasehat agama menjadi lebih akurat bagi masyarakat. Al-Qur’an mengatakan, Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (QS. Ibrahim:4)

‘Bahasa kaumnya’ dalam ayat ini tentu bukan hanya tentang transliterasi atau berbicara dengan bahasa yang sama saja. Tetapi lebih dari itu, juga tentang memahami kegembiraan, kesedihan, dan perubahan masyarakat. Mengerti aspirasi, harapan, dan ketakutan sosial terdalam. Sebab ‘bahasa’ juga merupakan identitas inti dari cita rasa budaya dan peradaban. Itu artinya, seorang ulama, perlu mengaplikasikan unsur budaya dan sejarah masyarakatnya. Dengan kata lain, Ulama atau ahli agama perlu mengenal secara mendalam siapa masyarakatnya sebenarnya, dan apa yang membuat kita benar-benar tersentuh dan bergerak. 

Tanpa keakraban seperti itu, nasehat agama akan nampak tidak masuk akal, menyedihkan dan, dalam beberapa kasus, merusak sosial atau menghancurkan spiritualitas. Seperti ceramah agama yang menimbulkan kontroversi, perpecahan dan kebencian. Pada dasarnya, nasehat yang tidak sesuai konteks tidak menyentuh persoalan riil yang ada dan tidak bermakna lebih dari kata-kata indah yang tidak dapat direalisasikan. Di tempat lain, Al-Qur’an mengatakan, Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri (QS. Yusuf: 109)

Baca Juga  Diliburkannya Shalat Jumat di Masa Pandemi

Arti penting bahwa Nabi-Nabi Allah selalu berasal dari negeri-negeri umatnya sendiri (ahl al-qura) adalah untuk memberikan pemahaman bahwa mereka bukanlah orang-orang asing yang terputus dari budaya dan adat-istiadat masyarakatnya. Kehidupan sehari-hari dan perjuangan mereka sama dengan masyarakatnya. Para Nabi tidak hanya memahami sikap, pandangan, sejarah, ketakutan, keprihatinan dan aspirasi masyarakat, mereka juga sangat memperhatikan kesejahteraan dan bimbingan mereka. Karena para Nabi adalah ‘pribumi’ atau orang asli dari masyarakatnya sendiri. 

Untuk itulah, seorang ulama, ahli agama, atau pemegang otoritas keagamaan yang berbahasa kaumnya dan menghargai norma dan budaya asal mereka, akan menghasilkan nasehat dan fatwa yang bijak. Menumbuhkan dan melestarikan ikatan agama yang kuat dengan masyarakatnya. Mereka akan mencintai dan berbelas kasih kepada masyarakat, sebagaimana Nabi SAW yang juga pernah berdoa untuk masyarakat Musyrik di Mekah, ‘Ya Allah, ampunilah umatku karena mereka tidak tahu.’ (HR. Bukhari)

Tugas ke depan bukanlah membuang atau mengingkari ilmu pengetahuan ‘asing’. Itu tidak pantas dan terlalu sembrono. Bagaimanapun, keilmuan Islam klasik tradisional berada di tanah Arab dan Keilmuan modern ada di Barat. Kebijaksanaan yang ditawarkan keduanya dapat dipertimbangkan. Namun, produk akhirnya perlu diolah oleh para ulama lokal yang memahami masyarakat. Bukan hanya karena kedalaman pembelajaran mereka, tetapi juga karena kesalehan mereka, temperamen yang terukur, dan dedikasi mereka untuk menjauhkan bahaya.

Singkatnya, adat dan norma masyarakat memainkan peran penting dalam setiap tawaran nasehat atau solusi agama yang berfungsi baik. Konteks atau realitas sosial-politik harus diperhitungkan dalam membuat kebijakan dan nasehat agama. Kondisi sosial, mentalitas, dan keunikan tidak dapat diabaikan begitu saja. Maka dari itu, menyerahkan pertimbangan agama dalam masalah sosial kemasyarakatan  kepada agamawan yang tidak mau ‘melokal’ dan ‘asing’ secara epistemologi, adalah tindakan yang merugikan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.