Fanatisme di Balik Obsesi Mengetahui Agama Seseorang

KolomFanatisme di Balik Obsesi Mengetahui Agama Seseorang

Saat mengetikkan nama seorang tokoh atau publik figur di tab pencarian, pilihan teratas yang kerap muncul berdasar tawaran fitur autocomplete adalah “agama”. Apalagi jika ada seorang berpengaruh yang melakukan konversi agama, mesin pencarian pun kian penuh dengan keingintahuan masyarakat akan berita tersebut. Pemandangan ini menunjukkan bahwa agama adalah domain yang amat penting bagi orang Indonesia, di satu pihak. Namun di pihak lain, fenomena itu merupakan satu sinyal tak sehat, di mana sentimen agama menjadi bumbu perilaku sosial.

Agama adalah urusan privat masing-masing orang. Masih sulit bagi masyarakat Indonesia untuk membedakan mana wilayah privat dan mana area publik seseorang. Tak heran jika orang-orang sering terobsesi tahu, sibuk berkomentar, bahkan menghardik keyakinan orang lain. Energi religius yang merupakan identitas kita, pada akhirnya dimanfaatkan sebagai komoditas bisnis. Media terus saja mereproduksi berita yang membicarakan keyakinan orang maupun isu pindah agama selebriti serta figur berpengaruh. Kabar teraktual adalah tentang suami Maudy Ayunda yang memutuskan mualaf. Berbagai portal berita secara masif mengeksplotasi isu konversi itu. Masyarakat pun juga antusias mencari tahu dan berkomentar.

Keingintahuan tentu suatu perkara wajar. Ada rasa puas ketika haus tahu agama seseorang itu kemudian terpenuhi. Pertanyaan mengapa seseorang merasa perlu tahu ihwal agama ini, barangkali bisa dijawab oleh penelitian sederhana yang dilakukan remotivi.or.id. Dengan mengadopsi teori identifikasi Cohen (2011), didapati adanya keterikatan audiens dengan karakter dalam dan melalui media, antara lain selebriti. Lalu muncul keinginan untuk mengidentifikasi kesamaan dengan sosok tersebut untuk mencari jembatan yang mendekatkan. Sementara itu, agama, negara, serta politik merupakan pijakan identitas sosial yang paling berpengaruh (Tajfel & Turner dalam Abrams, 2001).

Obsesi pada identitas religius seseorang merupakan fanatisme terselubung. Dalam kadar rendah rasanya tak terlalu bermasalah, seperti sekadar mencari tahu dan berhenti sampai di situ. Namun pada level selanjutnya, obsesi semacam itu akan mengusik pihak terkait. Keadaan demikian nyata adanya. Masyarakat sering kelewat batas dengan berkomentar penuh nada menghakimi dan merendahkan ketika misalnya ada publik figur yang memutuskan keluar dari Islam. Ketika sentimen agama dibawa serta, orang akan cenderung tidak menghormati pilihan dan urusan privat pihak lain.

Baca Juga  Sunnah Ketika Memasuki Rumah Baru

Lain cerita jika ada seorang berpengaruh yang menjadi mualaf. Kebanyakan masyarakat akan menyatakan kepuasan seperti mengalami sensasi kemenangan. Ungkapan “bangga” atau “PROUD” untuk merespons kabar mualafnya seorang figur adalah fanatisme subtil. Psikologi mayoritas juga berperan dalam hal ini, karena Muslim merupakan populasi terbanyak di Tanah Air sehingga memunculkan perasaan superior. Framing media dalam memberitakan isu konversi agama acap kali menjadi bias dan berat sebelah karena cara kerja dipengaruhi kepentingan ideologi yang dominan.

Pada titik tertentu, rasa ingin tahu pada agama orang bisa berujung tindakan diskrimintif. Ketika proses identifikasi tak berhasil menemukan domain agama sebagai irisan yang dianggap prinsipil, seseorang sangat mungkin merasa sah untuk memperlakukan obyek identifikasi secara berbeda dan menganggapnya aneh. Ekses dari fenomena fanatisme subtil semacam ini mesti segera disadari.

Kebiasaan obsesif untuk mengintervensi urusan privat seseorang adalah moral sakit. Masyarakat perlu belajar membedakan antara ranah privat dan publik agar bisa mengarahkan perilaku sosial secara tepat di hadapan jemaah manusia. Agama adalah keyakinan yang sangat intim pada diri seseorang. Kita tentu risi dan tersinggung jika yang di dalam itu dikoyak seorang asing.

Di samping itu, media sebagai sarana pemberi wacana masyarakat pun semestinya memiliki integritas dan misi edukatif, jangan sekadar bussiness oriented semata dalam menyebarkan berita. Konsumen berhak menikmati pemberitaan yang sehat dan mencerahkan, bukan kabar sampah yang hanya untuk tujuan rating dan keuntungan finansial.

Hargailah segala perbedaan dan keputusan orang. Kita harus melatih diri untuk menilai seseorang bukan dari identitas agama, tapi pandanglah ia seutuhnya sebagai manusia. Identitas yang sama-sama kita sandang adalah manusia, maka humanisme relasional adalah pijakan paling etis untuk dipegang. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.