Jodoh atau pasangan dalam ikatan pernikahan sangat berkaitan erat dengan norma gender. Hubungan suami-istri adalah relasi gender paling intim yang sangat mempengaruhi manusia. Rumah, kota, negara, apalagi dunia adalah tatanan yang membutuhkan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan. Untuk itulah, keberpasangan atau jodoh, merupakan realitas yang diakui sakral dalam Islam dalam mewujudkan keseimbangan.
Konsep keberpasangan segala sesuatu mengakar kuat dalam khazanah filsafat spiritual Islam. Dalam Islam hanya Tuhan yang maha tunggal, esa, dan satu, sedangkan makhluk dan segala ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan. Kekayaan inilah inilah yang digali oleh salah seorang pakar filsafat dan pemikiran sufistik, Sachiko Murata, dalam karya studi fenomenalnya, The Tao Of Islam (1992). Dengan pendekatan kosmologi dan teologi, Profesor yang memperoleh gelar PhD dalam bidang Literatur Persia ini, menawarkan model kesetaraan dan keseimbangan relasi antara laki-laki dan perempuan yang bersumber dari kekuatan khazanah filsafat dan tasawuf dalam Islam.
Pasangan-pasangan merupakan unsur dasar eksistensi, yang diibaratkan dengan Yin dan Yang dalam pemikiran Cina. Konsep ini diadopsi oleh Sachiko Murata untuk mengungkapkan keseimbangan relasi jender dalam Islam. Tidak seperti feminis Islam yang berusaha merekonstruksi peran jender menjadi lebih fleksibel, teori jender Sachiko Murata menjaga konsep maskulinitas dan feminitas tradisional dengan corak sufistik. Baginya kesetaraan terwujud dengan saling menghormati peran masing-masing yang secara esensi memang sudah setara. Dengan kata lain, ketidaksetaraan justru muncul dengan menunjuk maskulinitas sebagai standar kesetaraan. Naik derajat yang diasumsikan dengan memainkan peran maskulin, berarti menganggap peran feminin lebih kecil atau lebih rendah dibanding yang maskulin.
Dualitas adalah keseimbangan kosmis. Tujuan puncaknya ialah menegakkan tauhid. Tuhan merupakan satu-satunya zat yang maha satu, sumber dari segala eksistensi. Selain Tuhan, semua diciptakan berpasang-pasangan. Inti kesetaraan dan keseimbangan dalam pemikiran Sachiko Murata adalah dualitas yang berasal dari kesatuan, kesalingterkaitan semua realitas. Ia sangan mengapresiasi Ide keseimbangan langit dan bumi sebagai pesan sentral dalam al-Quran, sebagaimana dikenal dalam banyak tradisi Islam. Mengusung konsep yang berorientasi pada keseimbangan ini, dalam rumusan The Tao of Islam, dapat mengikis anggapan superioritas kaum laki-laki atas perempuan.
Uniknya, Sachiko Murata juga memberikan penilaian klasik bahwa pria diakui mempunyai derajat setingkat lebih dari wanita. Hal ini rupanya sangat berarti untuk membalikan ketimpangan menjadi kesetaraan. Baginya, sebagaimana pula perhitungan yang dikutipnya dari Ibnu Arabi, wanita telah mempunyai tingkatan di atas pria dalam suatu keadan, kelebihan yang tidak dimiliki oleh pria. Maka dari itu, pernyataan informatif semacam “laki-laki setingkat lebih tinggi”, seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 228, maknanya ialah Tuhan menutup kesenjangan yang ada.
Selain itu, perkataan semacam itu dimaksudkan pula untuk menekankan makna penting dari ikatan perkawinan, persatuan feminin-maskulin, sebagai pondasi umat. Sembari menetapkan hal-hal tertentu yang tidak dapat diubah dalam hubungan suami-istri. Tidak boleh ada yang merasa lebih hebat dan berkuasa sendiri, wanita mempunyai pencapaian-pencapaian tertentu yang tidak dapat diraih kaum pria, begitupun sebaliknya. Yang sempurna sendiri hanya Allah SWT.
Lebih dari itu, dalam filsafatnya tentang keseimbangan hubungan jender dalam Islam, Sachiko Murata menemukan dua kualitas atau dualitas, yaitu kualitas feminin dan kualitas maskulin, dalam nama-nama Tuhan (Asma al-Husna). Sachiko Murata membagi Asma al-Husna menjadi dua pengelompokan, yaitu keagungan (Jalal) sebagai kualitas Maskulin dan Keindahan (Jamal) sebagai kualitas Feminin. Tuhan melalui nama-namaNya adalah keseimbangan antara yang Agung, Kuasa, dan kuat, sebagai yang Pengasih, Penyayang, dan Penerima.
Oleh sebab itu, keseimbangan dan kesatuan Yin dan Yang, feminitas dan maskulinitas, Jamal dan Jalal adalah untuk saling melengkapi, inti dari tujuan penciptaan. Insan kamil ialah manusia yang dapat menyatukan sisi Ilahiyah Jamal dan Jalal menjadi Kamal. Inilah pokok kosmologi Islam yang tujuannya adalah menegaskan tauhid. Bagi Sachiko Murata, perbedaan gender identity, maskulin dan feminin, jika dihubungkan dengan Tuhan sebagai sumber keberadaan manusia dan alam, maka setiap manusia berarti memiliki sifat maskulin dan feminis, sebagaimana fenomena siang-malam, gelap-terang, dan seterusnya.
Dengan demikian, konsep keseimbangan feminitas-maskulinitas ini inti dari sistem jodoh. Keseimbangan harus terjamin dalam keberpasangan dan sudah semestinya menawarkan jalan kompromi. Kesetaraan tidak berarti apabila tidak menciptakan keseimbangan. Lebih dari itu, keseimbangan, sangat dibutuhkan dalam relasi jender untuk saling melengkapi, bekerjasama, dan mendukung dengan segala potensi masing-masing. Jadi, keberpasangan atau jodoh merupakan suatu mekanisme bagi manusia untuk menegakkan keseimbangan sejati yang telah Allah gariskan.