Kebebasan Beragama di Zaman Nabi

KolomKebebasan Beragama di Zaman Nabi

Pergolakan terorisme di Tanah Air menjadi dekadensi umat Islam dalam beragama. Itu sebabnya, penting menilik kembali sejarah Nabi Muhammad SAW, meski beliau bertanggung jawab penuh menyampaikan syiar Islam karena misi kerasulannya. Namun, di lain sisi beliau tetap memberi kebebasan dalam beragama kepada umat Yahudi, Nasrani dan umat lainnya dalam melakukan ritual sesuai keyakinannya masing-masing. Bahkan, beliau sendiri menjamin keamanannya sebagaimana yang terdeklarasikan dalam Piagam Madinah.

Di kala penduduk Mekkah bersikap keras terhadap respons dakwah Nabi SAW dan para pengikutnya yang masih berjumlah sedikit. Pada tahun 622 M atau tahun pertama hijriah, beliau hijrah ke Yastrib untuk melanjutkan amanah kerasulannya sekaligus dengan harapan dakwahnya disambut lebih baik warga tersebut. Penduduk Yastrib atau Madinah yang sudah mendengar sosok Muhammad sebagai al-Amin (yang dipercaya) karena kejujuran, kebijaksanaan saat peristiwa peletakkan batu Hajar Aswad, dan sikap terpuji lainnya dari penduduk Makkah kedatangannya pun disambut riang oleh seluruh penduduk Madinah. Bahkan, tak lama kemudian beliau dipercayai untuk memimpin Madinah hingga terbentuknya Piagam Madinah, sebuah catatan konstitusi paling modern pertama di dunia.

Fakta disebut konstitusi modern dikarenakan Piagam Madinah bisa menjadi payung hukum yang menaungi keragaman ras, suku, dan agama di Yastrib. Kemudian Piagam Madinah pun secara tegas menyatakan penduduk Muslim dan non Muslim yang tinggal di kota Yastrib dilindungi haknya dari segala penistaan dan penindasan, selama mereka tidak melanggar perjanjian yang dibentuk.

Mengutip dari buku Madinah (2018), salah satu pasal yang tersebut dalam Piagam Madinah, yakni Kaum Yahudi Banu ‘Awf adalah satu umat dengan orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan begitu pula orang-orang Islam berpegang pada agama mereka, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang berbuat aniaya dan jahat. Orang tersebut hanya menghancurkan dirinya dan keluarganya.

Sebagaimana petikan pasal di atas, Nabi SAW tengah menjadi teladan pemimpin agama sekaligus negarawan yang mampu menebarkan Islam yang rahmatan lil alamin dengan upaya kebebasan beragama bagi penduduk Yastrib. Adanya umat lain yang mau belajar terbuka dengan Islam, ibarat penduduk Yastrib adalah mayoritas umat Yahudi yang membuka jalan untuk Nabi SAW mengamalkan ajarannya. Alih-alih menyurutkan Islam karena sikap egaliter dan demokratisnya terhadap agama lain, justru menjadikan Islam kian berkembang pesat dan bersinar bagi penduduk Madinah, Makkah, dan wilayah lainnya.

Adapun kebebasan beragama yang diterapkan Nabi SAW merupakan pengamalan atas firman Allah SWT, La ikraha fi al-ddin, tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah: 256). Bertumpu pada leksikal ayat tersebut, tidak sedikit pemikir progresif yang berkesimpulan bahwa Islam mendukung penuh kebebasan beragama. Namun, di saat yang sama ulama konservatif yang kini menjadi landasan terorisme menyebutkan kalau ayat tersebut telah dihapuskan (naskh) pengertian dan hukumnya oleh ayat lain yang memerintahkan memerangi orang-orang musyrik dan orang kafir. Pendapat ini dikemukakan, misal Ibn Mas’ud, Ibnu Zayd, dan Sulaiman bin Musa.

Baca Juga  Menjaga Akal di Era Digital

Kendati demikian, kembali pada kebebasan beragama di zaman Nabi SAW yang paling dekat antara pemikir konservatif dengan pemikir progresif, tentu di sini pada implementasinya beliau condong pada pemikiran progresif. Hal ini dikisahkan dari salah satu sabab al-nuzul ayat tidak ada paksaan dalam beragama. Yakni, al-Suddi menceritakan ayat tersebut turun dalam kasus seorang laki-laki bernama Husayn yang memiliki dua orang anak yang keluar dari Islam setelah terpengaruh ajakan untuk masuk Kristen. Abu Husayn mengadukan pada Rasulullah berharap agar keduanya anaknya dapat kembali pada Islam, tetapi kemudian turun ayat la ikraha fi al-din.

Terkait ayat tak ada paksaan dalam beragama, Muhammad Rashid Ridha justru menegaskan ayat tersebut bisa dipakai untuk menolak orang berkata bahwa Islam pro-kekerasan, tegak dengan pedang, dan peperangan. Demikian juga realita yang terjadi saat peristiwa periode Makkah awal penyebaran Islam, Nabi SAW tidak menjadikan pedang sebagai alat pemaksaan. Kemudian pada periode Madinah saat Islam telah mereguk kekuasaan, mengapa orang tua dilarang memaksa anaknya untuk masuk ke dalam Islam.

Itu sebabnya, kebebasan beragama di zaman Nabi SAW merupakan poros Islam yang dapat menyangkal kecenderungan al-Quran yang mengafirmasi kekerasan dan pemaksaan. Patut dicatat, bahwa kebebasan beragama yang dilakukan Nabi SAW bukan bagian dari kegagalan beliau mengislamkan seluruh umat di masanya dan umat setelahnya.

Sejatinya Nabi SAW telah mendapat keberhasilan yang sempurna terkait kebebasan beragama. Yakni, beliau berhasil mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin kepada mereka yang tidak masuk Islam dengan memberi kesan yang membanggakan umat Islam kini. Kesan itu tidak lain, Nabi Muhammad SAW adalah seorang utusan yang mencintai perdamaian dan contoh teladan baik yang menghargai hak-hak kemanusiaan sekaligus pengantar peradaban.

Pada akhirnya, Islam yang selamat hanya bisa hadir dari kesukarelaan, bukan dari keterpaksaan. Kekebasan beragama di zaman Nabi SAW menjadi tonggak penyelamat wajah Islam yang ramah dan bertahan hingga kini. Kesadaran umat Muslim terhadap Indonesia sebagai negara yang plural diharapkan agar mampu membawa kedamaian dengan pemahaman kebebasan beragama.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.